Senin, 24 Desember 2007
Quo Vadis Perguruan Tinggi?
Diposting oleh M.Yusuf Wibisono di 21.22 0 komentar
Label: Refleksi
Senin, 10 Desember 2007
Merajut Benang Kusut Indonesia
Kontroversi tentang membangun Indonesia ke depan adalah topik yang menarik belakangan ini. Banyak kalangan mulai dari politisi sampai para pakar pembangunan yang berpolemik tentang dari mana starting-pointnya untuk membangunan bangsa ini. Apakah bertolak dari stabilitas yang menuju social order (ketertiban sosial) atau dari pertumbuhan ekonomi yang akan mendongkrak kesejahteran masyarakat keseluruhan. Atau bahkan kedua alternatif itu dijalankan secara beriringan dan sekaligus untuk memperkecil "ongkos sosial" yang akan dihadapi oleh seluruh komponen bangsa Indonesia.
Carut-marutnya bangsa Indonesia belakangan ini, dikarenakan kompleksitas permasalahan yang tak kunjung reda, malahan semakin menumpuknya "pekerjaan rumah" yang tidak mudah untuk diselesaikan. Mulai dari aspek fluktuatif kebijakan ekonomi yang acak, sampai pada penegakkan hukum yang tidak berorientasi pada keadilan sosial yang hakiki (terutama masalah korupsi). Di tambah lagi, problematika konflik horisontal yang hampir menyentuh pada sensifitas disintegrasi bangsa belum terselesaikan dengan tuntas. Semua itu to be or not tobe tidak terlepas dari semangat sense of responsibility pemerintah dan para wakil rakyat sebagai penyelenggara negara.
Dirasakan oleh sebagian pihak, bahwa nation-building belakangan ini tidak lebih baik ketika masa Orde Baru (Orba). Pernyataan ini bukan berarti keberpihakan terhadap model pembangunan masa lalu, tetapi lebih pada semangat kritisisme yang berkembang di tengah-tengah masyarakat semakin marak. Memang, sebagaian masyarakat memahami, bahwa membangun bangsa yang sudah hampir menyentuh pada titik nadir ini tidak semudah membalik tangan, seperti tidak mudahnya merajut benang yang sudah kusut. Akan tetapi tidak serta merta penyelenggara negara hanya mengandalkan retorika politik benang kusut untuk menyelesaikan problematika bangsa ini. Sebab, tanpa motivasi yang berorientasi pada semangat berkeadilan, tidak akan mudah mencapai target sebagai bangsa yang beradab.
Pencarian solusi akar masalah kebangsaan, sejatinya tidak cukup hanya dengan polemik dari mana dulu starting pointnya, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah need assessment (penelesuran kebutuhan) pada masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini peran para wakil rakyat,semestinya dapat memberikan ruang dialogis yang produktif kepada seluruh masyarakat. Memang, selama ini interaksi antara wakil rakyat dengan rakyatnya dirasakan cukup intensif. Hanya saja, pengaruh dari interaksi itu kurang memberikan dampak yang signifikan terhadap proggresifitas perubahan masyarakat. Indikasi ini nampak pada persoalan-persoalan di akar rumput (rakyat) yang seringkali kurang tersentuh oleh kebijakan makro penyelenggara negara. Sehingga ungkapan "sumir" yang terlontar, bahwa nation building bangsa ini tidak berpihak ke akar rumput (rakyat), tetapi hanya pada kepentingan para politisi dan pengusaha kelas kakap, menjadi realitas yang tak terbantahkan.
Oleh karena itu, pemberdayaan secara maksimal dan motivasi yang sungguh-sungguh para penyelenggara negara untuk memperbaiki persoalan-persoalan kebangsaan menjadi keharusan mutlak. Tanpa ada motivasi itu, sulit diharapkan masalah bangsa yang multi kompleks ini akan terselesaikan. Bahkan akan bertambah lagi urusan bangsa ini dengan masalah mental para penyelenggara negara itu sendiri. Kalau terjadi demikian, tinggal menunggu kristalisasi krisis kepercayaan dari rakyat kepada seluruh aparatur negara. Kondisi yang demikian ini pada gilirannya, akan memicu munculnys disharmonisasi, instabilitas dan disintegrasi sosial yang tajam.
Untuk menghindar dari kondisi yang demikian itu -- selain dari motivasi -- diperlukan keterlibatan semua komponen bangsa yang peduli untuk memperbaiki kondisi bangsa ini dengan serius. Yang paling penting dari semua itu adalah, bagaimana semua komponen bangsa -- tanpa pandang golongan, partai politik atau bahkan agama -- dilibatkan untuk merumuskan problem solving kebangsaan secara konprehensif dan holistik. Meski dalam proses perjalanannya, kadangkala menemui hambatan-hambatan psikologis, karena berbeda latar belakang ideologis atau apapun namanya. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, semestinya semua komponen bangsa itu dapat memperkecil ego in-group nya. Dengan begitu, semangat mambangun bangsa bukan didominasi oleh kelompok tertentu, akan tetapi semua ikut bertanggungjawab dan sekaligus menikmati. Tanpa semangat kebersamaan, sampai kapanpun bangsa ini sulit melakukan perubahan ke arah yang lebih maju (progress) sesuai dengan yang dicita-citakan.
Diposting oleh M.Yusuf Wibisono di 22.46 0 komentar
Label: Refleksi
Rabu, 31 Oktober 2007
Perlunya Pengendalian Sosial Untuk Aliran-aliran Agama di Indonesia
Maraknya aliran-aliran agama yang muncul belakangan ini, membuat banyak orang dari mulai tokoh agama, pemerintah, aparat sampai masyarakat awam dibikin sibuk untuk mencari solusinya. Seperti halnya kasus Ahmadiyah, dan yang paling terakhir Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dituduh "sesat" oleh berbagai institusi-institusi Islam (MUI dan Ormas-ormas Islam). Dan yang paling membuat rasa kemanusian penulis tersentuh, adalah prilaku kekerasan (anarkhis) yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Hal ini dapat juga dijadikan cerminan bahwa pola interaksi sosial bangsa kita yang menganggap terapi konflik adalah bagian dari solusi yang instan untuk diberlakukan.
Hemat penulis, bahwa pola interaksi sosial dari sebuah masyarakat yang moyoritas, merupakan miniatur dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Jadi, tatkala masyarakat kebanyakan dalam menyelesaikan berbagai masalah dengan pendekatan konflik, maka bangsa ini mengalami "metamorfosis" ke arah regress (kemunduran). Sebaliknya, kalau bangsa ini dalam setiap penyelesaian masalah melalui pendekatan equallibrium (harmoni), maka capaian ke arah proggress (kemajuan) akan teralaminya. Untuk itu, yang paling bertanggungjawab dalam hal ini adalah pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam mengatur masyarakatnya. Diakui atau tidak, peristiwa yang sejenis hampir sering terjadi di berbagai wilayah di negeri ini. Dan boleh jadi, akan menyusul terus-menerus dengan kasus yang sama. Dengan demikian, perlunya antisipasi dari berbagai elemen bangsa.
Bagi "aktor intelektual" dari aliran-aliran agama yang dianggap kontroversi, semestinya dalam mengemban "misi" yang akan digelindingkan ke masyarakat, memantau terlebih dahulu, apakah misinya populer atau justru akan membuat keresahan di masyarakat secara sporadis. Pada akhirnya bukan persoalan memperjuangkan "kebenaran" yang mungkin "truth claim" (klaim kebenaran) -- nilai kebenarannya juga masih relatif -- tetapi yang harus mendapat porsi lebih untuk diperhatikan adalah persoalan social order (ketertiban sosial) yang terancam. Apalagi kalau dilihat dari berbagai aspek, bahwa bangsa ini masih banyak "agenda" permasalahan yang harus secepatnya diselesaikan, terutama yang berkaitan dengan kemiskinan dan pemberantasan korupsi yang tak kunjung tuntas. Menurut analisis penulis, prilaku para "aktor intelektual" aliran-aliran agama kontroversi dapat juga dikatagorikan sebagai "anarkhisme sosiologis".
Istilah anarkhisme sosiologis dapat juga diartikan, sebuah proses pemaksaan ide, pikiran, atau gagasan yang tidak sesuai dengan mainstreem masyarakat pada umumnya. Pada tataran filosofis atau bahkan positivistis boleh jadi beranggapan bahwa, pikiran, gagasan atau ide apapun tidak ada satu pun yang dapat membendung , kecuali pikiran itu sendiri. Tetapi dalam konteks sosial, perihal toleransi, apresiasi, dan egaliterian adalah bagian yang tak dapat diabaikan begitu saja. Biasanya dalam hukum sosial, yang berlaku adalah gagasan, ide atau pikiran yang sudah dianggap mainstreem (arus utama), meskipun kadangkala tidak mempersoalkan benar dan salah dalam konteks apapun, mungkin termasuk juga teologi. Tetapi yang berlaku biasanya adalah, layak dan tidak layaknya sebuah gagasan itu eksis -- berdasarkan kesepakatan sosial.
Oleh karenanya, persoalan pencarian solusi yang dapat menjadi win-win solution bagi semua pihak, adalah para pemegang kebijakan (pemerintah) perlu membuat mekanisme atau aturan main yang dihasilkan dari berbagai komponen bangsa, termasuk di dalamnya yang pro dan yang kontra. Kenapa demikian? karena mereka semua adalah anak-anak bangsa yang mempunyai hak hidup yang sama, sekaligus menghendaki ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan mereka untuk bermasyarakat dan berbangsa. Sehingga untuk mewujudkan sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat tidak akan mengalami kesulitan, apabila semangat dialogis di antara anak-anak bangsa seringkali dilakukan. Apapun masalah akan selesai, kalau manusia berikhtiar mencari problem solving-nya, sebab Tuhan pun menciptakan masalah-masalah makhlukNya sepaket dengan solusinya. Itupun kalau kita berkemauan keras mencari alternetif pemecahannya. Wallahu'alam
Diposting oleh M.Yusuf Wibisono di 00.00 0 komentar
Label: Opini
Selasa, 25 September 2007
BPK VS MA
Prilaku elite kukuasaan di negeri kita aneh bin ajaib. Bagaimana tidak? dalam suasana bangsa yang sedang dirundung berbagai masalah yang tak kunjung redah, para elite sibuk dengan konflik (cakar-cakaran)antar mereka. Seperti kasus konfliknya BPK dan MA, yang pada akhirnya Presiden harus ikut membantu menyelesaikan persoalan mereka. Sinyelemen yang seperti itu menjadi proses pembelajaran politik yang tidak sehat bagi masyarakat. Masyarakat semakin dibikin bingung dan mungkin jengkel melihat prilaku elite yang semakin childness (kekanak-kanakan.)
Proses pendewasaan seluruh elemen bangsa ternyata bukan pekerjaan mudah. Bahkan elite kekuasaan pun masih ada yang tidak masuk pada katagori dewasa dari sisi wisdom atau sikap kenegarawanan yang mumpuni. Hari gini... elite kekuasaan masih bersikap kekanak-kanakan? Saya kira sudah bukan zamannya lagi. Masyarakat semakin tidak bisa berharap banyak untuk mentauladani para elite penguasa di negeri ini.
Ironisnya, seperti sang elite hukum sekelas MA, tidak berkenan untuk di sentuh (untouchable)oleh lembaga apapun. Seyogyanya, MA lah yang memberikan tauladan yang progresif ke seluruh lapisan sosial di negeri kita ini, terutama di bidang penegakkan hukum. Dan justru bukan terkesan sebagai "negara" dalam Negara", yang sulit untuk diajak kompromi karena meresa paling benar dan berdiri di atas hukum itu sendiri. Saya kira tidak ada lembaga negara apapun bidangnya, sepi dari urusan human error, tidak terkecuali MA atau bahkan BPK sekalipun. Oleh karena itu, idealnya kalau masih menghendaki Indonesia menjadi negeri yang bermartabat dan beradab, semua elemen bangsa ini, dari mulai elite sampai grassroot-nya (rakyat) harus menjunjung tinggi norma-norma yang sudah disepakati bersama. Tanpa ada komitmen yang seperti itu, cita-cita menjadi negara berkeadilan dan berperadaban sepertinya hanya isapan jempol semata. Sejarah banyak membuktikan...
Diposting oleh M.Yusuf Wibisono di 00.15 0 komentar
Label: Opini
Sabtu, 22 September 2007
Pemerintah Vs Pedagang Kaki Lima (PKL)
Hampir setiap hari berita di telivisi-telivisi atau media cetak di kita, dipenuhi tentang penertiban wilayah-wilayah yang dihuni Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh aparat trantib dan aparat keamanan daerah. Ironisnya, setiap pemuatan berita tentang penertiban PKL selalu dibarengi dengan bentrok fisik dan selalu ada korban. Hal itu terjadi terus-menerus bagaikan aktivitas yang sudah menjadi kemestian adanya. Sehingga gambaran yang nampak di permukaan adalah, sebuah potret masyarakat yang selalu didera konflik terus-menerus tanpa ada kepastian penyelesaian. Atau memang jenis masyarakat kita -- dari mulai penguasa sampai rakyatnya -- adalah masyarakat yang "sakit". Sakit di sini dimaknai, meminjam istilah ahli psikologi yang dinamakan "patologi sosial", yakni semacam penyakit jiwa yang kaitannya dengan pola hubungan sosial.
Diposting oleh M.Yusuf Wibisono di 00.12 0 komentar
Label: Opini
Kamis, 20 September 2007
Sekelumit Tentang Anerkhisme di Indonesia Hari Ini
Kalau mengamati proses penegakkan hukum di Indonesia belakangan ini, sepertinya jauh dari harapan untuk menuju sebuah negara besar yang bermartabat dan berperadaban. Penegakkan hukum terkesan masih pilih-pilih atau tebang pilih. Ketika ada sekelompok komunitas tertentu yang mengatasnamakan kekuatan "akar rumput", atau lembaga "agama" yang bertindak atas nama "hakim" adalah produk ketidakberdayaan aparat hukum kita. Ketidakberdayaannya boleh jadi karena memang tidak mampu atau ada faktor kesengajaan , untuk tidak menyebut rekayasa.
Dengan demikian, kalau memang aparat hukum di Indonesia mampu menegakkan hukum tanpa pandang bulu, penulis optimis tidak akan pernah muncul prilaku anarkhisme yang dilakukan oleh komunitas apapun namanya. Jadi logikanya, kemunculan kelompok-kelompok yang bertindak anarkhisme di Indonesia belakangan ini -- sekali lagi, apapun namanya --, adalah sebuah rekayasa yang boleh jadi tidak sengaja diciptakan aparat penegak hukum. Hal itu dikarenakan prilaku mereka yang mempunyai tendensi "tertentu" (pilitical power atau money power). Oleh karenanya, harapan penulis adalah semua komponen masyarakat semestinya tidak henti-hentinya memotret aparat penegakkan hukum dari berbagai "pose", bahkan siap mengingatkan mereka dengan hukum yang berlaku. To be or not Tobe
Diposting oleh M.Yusuf Wibisono di 01.15 0 komentar
Label: Refleksi
Rabu, 19 September 2007
Perubahan Sosial dan Pasang-Surutnya Semangat Keagamaan di Indonesia
Secara sosiologis munculnya semangat perubahan sosial di Indonesia, biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu sendiri. Bahkan sebagaian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di semua sektor merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda, kendatipun dalam proses perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak ringan. Sebut saja, mulai dari perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, agama dan berbagai macam yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia.Dalam konteks ini pula, penulis ingin "membedah" dengan "pisau" analisis sosiologis arah perubahan di Indonesia yang disebabkan keberadaan agama dengan berbagai potretnya.
Kehadiran agama pada dasarnya selalu disertai dengan “dua muka” (janus-face). Pada satu sisi, secara fungsional agama mempunyai watak sebagai “perekat sosial”, memupuk solidaritas sosial, toleran, dan seperangkat peranan yang memelihara kestabilan sosial (harmoni). Di sisi lain, agama juga mempunyai kecenderungan atomisasi (memecah-belah), disintegrasi, dan intoleransi. Secara teoritis-sosiologis, hal ini dapat juga difahami dari dua bentuk antagonisme dalam agama. Pertama, ketegangan atau konflik yang berkembang di kalangan umat suatu agama (intern). Kedua, ketegangan atau konflik yang terjadi antar umat beragama (ekstern).
Untuk beberapa kasus di Indonesia, semisal keberadaan agama Islam dengan kecenderungan dan intensitas perubahannya, dapat ditelaah melalui pengamatan yang serius, baik melalui umatnya maupun kiprah institusi-institusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selintas terkesan kegairahan menghayati agama meningkat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang nota-bene terdidik. Atau paling tidak pendidikannnya relatif sudah mapan. Kenyataan ini tidak memberikan jaminan dan mungkin masih diragukan, apakah ini mencerminkan bertumbuhnya kekuatan agama (Islam) atau sebaliknya? Sebab hal ini berbarengan dengan indikasi krisis kepercayaan sebagian umat Islam terhadap lembaga-lembaga politik (parpol) yang bernuansa agama (Islam) dan adanya “tekanan-tekanan” terhadap para penganutnya.
Dari kenyataan demikian, nampak adanya – dapat disebut “ideologi” -- yang dapat menyaingi keberadaan agama (Islam). Indikasi ini lebih diperkuat dengan cara menghayati agama, di mana penghayatan dirasakan cukup apabila sudah melaksanakan kewajiban pribadinya dalam beribadah. Sedangkan tanggung jawab sosialnya kurang mendapat perhatian. Padahal semestinya ajaran agama bukan sekedar ibadah individual kepada Tuhan akan tetapi kewajiban kerja kemanusiaan atau amal shaleh dalam agama (Islam) lebih ditekankan.
Merujuk pada perspektif di atas, memang perubahan sosial di Indonesia sampai sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni meliputi bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan yang lain. Perwujudan yang kongkrit dari perubahan itu, adalah berupa upaya pembangunan yang terencana, termasuk di dalamnya sumber daya manusia. Tetapi dalam implementasinya, proses pembangunan tidak jarang menimbulkan disorientasi, seperti alienasi (keterasingan dan kerenggangan) dan dehumanisasi (“penjungkirbalikan” nilai-nilai kemanusiaan) bahkan konflik horisontal pun yang tak kunjung selesai.
Hal ini sejalan dengan pandangan Faisal Ismail (2001:239), bahwa alienasi tersebut menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semua itu, akibat dari pola pembangunan yang lebih memprioritaskan aspek fisik atau kebendaan semata. Dehumanisasi semakin marak – ekses dari proses pembangunan yang mementingkan praktis-pragmatis di atas nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak lebih dari obyek pembangunan ketimbang subyek pembangunan.
Kenyataan ini, pada gilirannya dapat menciptakan semangat penolakan dan perlawanan dari pihak yang merasa dimarginalkan. Teori sosiologi mendeskripsikan bahwa semakin kuatnya tekanan tehadap keberadaan kelompok tertentu, maka akan semakin mempercepat munculnya semangat militansi untuk mempertahankan eksistensinya. Begitu halnya di Indonesia, semakin represif para penguasa (semisal di era rezim Orba) membatasi aktivitas umat Islam, yang pada gilirannya semakin tumbuh subur munculnya aliran-aliran yang bernuansa radikalisme. Perubahan yang dihendaki oleh kelompok radikal keagamaan, biasanya cenderung revolusioner dan mendasar. Mereka beranggapan, bahwa dengan merubah secara mendasar seluruh aspek kehidupan manusia dan sekaligus melawan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, adalah sesuatu perwujudan kewajiban religius yang harus dilaksanakan.
Pada hakikatnya seluruh agama menghendaki adanya perubahan dalam setiap kehidupan manusia. “Agama” dan “Perubahan” merupakan dua entitas yang seperti berdiri masing-masing. Namun, belum tentu setiap dua entitas atau lebih, adalah sesuatu yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kemungkian saja dua entitas itu saling melengkapi ( complementary), dan boleh jadi saling mensifati satu sama lain. Bisa juga, “agama” dan “perubahan” dipahami sebagai hal yang overlapping. Artinya, “perubahan” dalam pandangan sebagian kalangan, justru dianggap sebagai inti ajaran agama. Sebagian pengiat sosiologi dan sosiologi agama, seperti Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, Peter L.Berger, Ali Syariati, Robert N.Bellah, dan yang lainnya menyiratkan pandangannya tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial.
Makna “perubahan” kemudian dirumuskan oleh agama setidaknya Islam, sebagai keharusan universal – meminjam istilah Islam sunnnahtullah – agar dapat merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan dari berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling tidak, agama mengajarkan nilai-nilai seperti itu, selain doktrin-doktrin yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan apabila kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi kehidupan manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka eksistensi agama akan menjadi pudar. Dengan kata lain, kalau sudah demikian, tidak mustahil agama akan ditinggalkan oleh umatnya dan boleh jadi belakangan menjadi “gulung tikar” karena dianggap sudah tidak up to date.
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman diskursus “agama” di satu sisi, dan “perubahan” di sisi lain -- sebagai bagian satu entitas yang tak dapat dipisahkan -- sebab yang satu mensifati yang lain. “Perubahan” berfungsi sebagai sifat “kecenderungan”, “titik tekan”, atau “melingkupi” keberadaan agama. Ilustrasi ini dapat diambil contoh dari berbagai peristiwa di belahan dunia tentang perubahan sosial yang diakibatkan ekses dari agama, seperti, gerakan Protestan Lutheranian, revolusi Islam Iran, atau belakangan kasus bom Bali di Indonesia.
Identifikasi di atas tidak hanya di fokuskan pada perubahan yang berorientasi progress (arah kemajuan) semata, tetapi ke arah regress (kemunduran) pun menarik untuk dijadikan contoh. Memang tidak selamanya perubahan yang diakibatkan sepak terjang agama dapat berdampak kemajuan peradaban bagi manusia. Tidak sedikit perubahan yang mengarah pada kemunduran (regress) sebuah peradaban bangsa tertentu -- yakni seperti terjadinya perang Salib di masa lalu (antara Islam dan Kristen) atau konflik-konflik yang mengatasnamakan agama.
Sedangkan perubahan yang mengarah pada kemajuan (progress) peradaban manusia, posisi agama pun memberikan kontribusi yang sangat besar. Dengan agama, manusia dapat menebarkan perdamaian dan cinta kasih di antara sesama, optimis dalam menatap masa depan, menciptakan alat-alat teknologi untuk peningkatan kesejahteraan, menegakkan keadilan, sekaligus pemihakan terhadap golongan lemah. Tanpa itu, dapat dipastikan semakin lama sesuai dengan tuntutan zaman, agama akan ditinggalkan oleh pemeluknya dan pada akhirnya “gulung tikar” seperti yang di alami oleh agama-agama Mesir kuno. Meskipun acap kali tidak mudah untuk mensosialisasikan agama sebagai bagian dari spirit proses perubahan sosial.
Adalah ilustrasi yang menarik dari beberapa contoh kasus di Indonesia yakni, perubahan sosial yang dilandasi oleh semangat keagamaan seringkali menghadirkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat beranggapan, bahwa agama semestinya banyak mengambil peran dalam berbagai aspek, terutama dalam rangka pengandalian masyarakat (social control). Mereka berdalih, secara common-sense menjadi lumrah kalau agama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari berbagai aktivitas kehidupan sosial di Indonesia. Kenapa? Sebab mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama. Kemudian masalah berkembang, yakni agama mana yang layak menjadi dominan mempengaruhi pola prilaku masyarakat? Pernyataan terakhir ini, dapat didiskusikan dalam konteks logika kekuasaan dengan lebih intens.
Sementara bagi sebagian masyarakat yang tidak menghendaki agama hadir di berbagai moment, beranggapan, agama adalah urusan privat dan sangat personal. Urusan yang berkaitan dengan persoalan seperti, politik, ekonomi, budaya, dan semua yang ada kaitannya dengan publik, maka tidak menjadi kemestian agama dilibatkan, apalagi agama tertentu. Semisal, kasus RUU APP, poligami dan lain sebagianya, merupakan potret fenomena komunitas yang berpaham perlunya pemisahan antara urusan agama pada satu sisi, dan urusan sosial di sisi lain. Komunitas ini berpendapat, untuk menjaga keutuhan bangsa tidak diperlukan kehadiran agama apapun dalam konstelasi pembangunan bangsa. Apalagi Indonesia menurut mereka, tidak mengenal paham teokrasi ( negara agama).
Yang menjadi masalah kemudian adalah, apakah keberadaan agama cukup kita hadirkan hanya dalam urusan yang sifatnya privat/personal dan domestik. Dengan begitu, jargon keutuhan bangsa adalah harga mati dan mutlak harus dikedepankan ketimbang menjadikan agama tertentu sebagai pedoman atau norma pergaulan sosial. Ataukah dengan menghadirkan agama sebagai landasan norma bernegara dan berkebangsaan dapat menjamin akan adanya ketertiban masyarakat pada umumnya. Untuk memastikan survival-nya di antara kedua paham ini, sebetulnya lebih ditentukan oleh “seleksi alam”, artinya, paham mana yang dapat menjamin ketertiban dan kelangsungan hidup masyarakat pada umumnya dan paham mana yang hanya sebatas psedo-ideologi semata.
Dalam konteks pergolakan politik di Indonesia, belakangan ini banyak mengalami perubahan yang sangat signifikan. Semenjak pasca Orba, keberadaan partai politik yang bernuansa agama bermunculan seperti jamur di musim hujan. Kebanyakan mereka berpandangan bahwa, “idealisme-religiusitas” akan bisa digulirkan apabila memaksimalkan partisipasi politik secara langsung. Bagi mereka, pelajaran paling berharga adalah marginalisasi aspirasi politik partai bernuansa agama di era Orba. Oleh karena itu, peluang di era reformasi ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mewujudkan “obsesi” berpolitik dengan melibatkan agama secara eksplisit.
Terlepas dari apakah adanya partai politik aliran ini, hanya sekedar menarik minat partisipasi masyarakat beragama untuk kepentingan kekuasaan kelompok tertentu atau murni untuk mewujudkan sebuah refleksi semangat religiusitas. Maksud dari asumsi terakhir ini adalah, mendirikan partai politik agama dalam rangka merubah keberadaan masyarakat dengan nilai-nilai agama sebagai sumber utama untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang jelas, semenjak partisipasi politik keagamaan dilembagakan, memberikan warna tersendiri dalam percaturan politik di Indonesia. Paling tidak, dalam konteks demokrasi modern, fenomena yang demikian ini menjadi “batu uji” sebuah makna sejati dari demokrasi.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya untuk didiskusikan adalah, Indonesia yang dikenal mayoritas beragama, belum nampak terrefleksikan dalam prilaku sehari-hari. Agama mungkin hanya sebatas identitas formalistis semata (melengkapi administrasi KTP). Pernyataan ini sepertinya “sumir” dan “sinisme” untuk masyarakat beragama pada umumnya. Tetapi ditilik dari realitas yang berkembang, banyak indikasi yang mendukung pernyataan ini, semisal merebaknya kasus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di seantero Nusantara. Padahal “oknum” yang melakukan praktek KKN notabene beragama, bahkan mungkin lebih terdidik. Hal ini menandakan bahwa “nafsu sahwat” materialisme lebih dominan ketimbang semangat keberagamaan. Dari konteks yang demikian ini, ternyata keberadaan agama di Indonesia belum dapat mengejawentah dalam proses perubahan sosial ke arah yang lebih progres atau lebih baik.
Atas dasar demikian, proses perubahan sosial tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab seluruh masyarakatnya, terutama para pemeluk agama. Dalam konteks sosiologis (fungsional-struktural), merubah masyarakat ke arah yang lebih baik dan produktif, merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, umat beragama dengan semangat ajarannya, bukan saja memikul tanggung jawab untuk memperkuat nilai-nilai moral, etik dan spiritual sebagai landasan pembangunan, tetapi juga dituntut untuk memerankan fungsi inspiratif, korektif, kreatif dan integratif agama ke dalam proses keharmonisan sosial. Berhubungan dengan itu, tugas merubah kondisi sosial ke arah yang lebih baik, bukan sekedar sebagai tugas kemanusiaan, akan tetapi sekaligus merupakan pengamalan sejati ajaran setiap agamanya.
Diposting oleh M.Yusuf Wibisono di 06.37 2 komentar
Label: Refleksi
Sabtu, 15 September 2007
Sosiologi Indonesia: haruskah lebih sosiologis?
Diposting oleh M.Yusuf Wibisono di 07.47 1 komentar
Label: Opini