Image and video hosting by TinyPic

Minggu, 26 Oktober 2008

Mendongkrak Popularitas SBY

Terapi kejut yang dilakukan KPK terhadap kasus BLBI belakangan ini menjadi polemik yang berkepanjangan. Para pengamat memprediksi penanganan kasus ini akan berlarut-larut sesuai dengan perkembangan kekuatan kepentingan yang saling tarik-menarik. Namun fenomena ini menggambarkan ke publik bahwa kepemimpinan duat SBY-JK berhasil menggiring para "pengemplang" uang negara ke meja hijau. Diakui atau tidak, prestasi ini patut diapresiasi atas keberaniannya untuk membongkar "kotak pandora" yang selama masa Orba dianggap tabu dalam membongkar kasus-kasus pejabat.


SBY yang flamboyan itu ternyata menyimpan energi petarung yang cukup membuat banyak orang terperanjat. Tidak sedikit pengamat yang meleset dalam memotret model kepemimpinan SBY. Terkesan dengan style kalemnya, ternyata SBY sanggup merubah tradisi "ewuh pakewuh" yang selama inii dilestarikan para pendahulunnya (Soeharto, Gus Dur dan Megawati). Sekali lagi, SBY patut mendapat acungan jempol dalam persoalan ini, meskipun masih jauh dari harapan tapi ada sesuatu yang dapat dan sudah dilakukannya.

Hanya saja akan lebih produktif, dalam upaya mendongkrak popularitas dan meraup suara mayoritas Pilpres 2009, SBY harus berani melakukan terobosan yang bombastis. Pertama, kebijakan perekonomiannya murni berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Kedua, penegakkan hukum yang tidak tebang pilih, terutama yang berkaitan dengan keluarga dan kroni. Lebih-lebih, bila sang "besan"(Aulia Pohan) terbukti bersalah dalam kasus BLBI, SBY harus berani ambil sikap tegas dan hanya berpihak pada kebenaran plus keadilan. Kedua terobosan inilah diprediksi dapat memberikan kontribusi popularitas dan suara yang signifikan pada Pilpres 2009. Silakan dibuktikan Pak Presiden...

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Jumat, 05 September 2008

Titik Temu Agama-agama

Keberadaan agama-agama di dunia seringkali menjadi topik pembahasan yang tak henti-hentinya dari masa ke masa. Terutama yang menyangkut agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam, yang menurut sejarah Islam adalah dari satu keturunan yang sama yaitu dari Nabi Ibrahim, atau dikenal dengan ”Bapak para Nabi” (abul-anbiya’). Ibrahim juga dijuluki “Bapak Orang Beriman” dalam tiga tradisi agama Yahudi, Kristen dan Islam, meskipun pada gilirannya konsep keimanan di antara tiga agama tersebut menjadi pemicu perbedaan yang berarti sampai saat ini.

Seperti yang disebutkan Al-Quran bahwa setiap kelompok manusia selalu didampingi oleh para rasul, meskipun hanya sebagian kecil saja yang dituturkan oleh Al-Quran dan Nabi Muhammad. Bahkan dalam satu riwayat tertentu, Nabi Muhammad menyatakan jumlah rasul itu ada tiga ratus lima belas orang. Tetapi yang banyak dikenal oleh umat Islam pada umumnya sebanyak dua lima rasul, mulai dari Nabi Adam (bapak umat manusia) sampai Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul (khatam al-anbiya wa al-mursalin). Nurcholis Madjid (1994) menuturkan, bahwa Al-Quran pun mengisahkan sebagian para rasul itu adalah pelanjut dari ajaran Taurat dan Injil (“Perjanjian Lama” dan “Perjanjian Baru”), dan semua berasal hanya dari kalangan bangsa-bangsa Semit di Timur Tengah.
Menurut keimanan Islam, bahwa sebagian besar para rasul itu merupakan keturunan Nabi Ya’qub yang digelari Israil (hamba Allah) yang kemudian mereka lebih dikenal dengan sebutan Bani Israil (keturunan Israil). Pernyataan ini juga diperkuat oleh Al-Quran dengan sebutan al-asbath (lihat QS.Al-Baqarah: 136 dan 140) yang terbagi ke dalam dua belas suku (QS.Al-A’raf:160), yang mengikuti jumlah anak Nabi Ya’qub yang berjumlah dua belas orang. Dalam sejarah Islam mengisahkan bahwa suku-suku Israil itulah yang selama ratusan tahun dijadikan budak dan selalu ditindas oleh Fir’aun sang penguasa Mesir, yang dikemudian hari dibebaskan oleh Nabi Musa dan sekaligus menjadi umatnya.

Masih menurut kisah Al-Quran, bahwa Nabi Ya’qub adalah putra Nabi Ishaq dan Nabi Ishaq adalah putra Nabi Ibrahim dari istri pertamanya, Sarah. Sedangkan dari istri kedua, Siti Hajar, Nabi Ibrahim mempunyai putra bernama Nabi Ismail yang kelak menurunkan Nabi Muhammad SAW. Jadi secara geneologi bahwa para rasul itu adalah masih satu keturunan yaitu Ibrahim. Untuk itu, secara primodial paham-paham keimanan ketiga agama itu (Yahudi, Kristen dan Islam) adalah bertolak dari “Millah Ibrahim” (Agama/ajaran Ibrahim). Artinya, ketiga agama itu, idealnya mempunyai konsep keimanan yang sama, meski pada tataran tradisi ritual (syari’ah) beraneka ragam sesuai dengan perbedaan ruang dan waktu.

Oleh karena itu, membicarakan ketiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam dalam rangka mencari titik temu merupakan agenda utama yang perlu dikedepankan. Hal itu terkait dengan semakin meruncingnya perbedaan cara pandang teologis yang unjungnya merangsek pada konflik fisik berabad-abad lamanya. Untuk hal tertentu, peristiwa konflik bernuansa agama diperingati sebagai “tragedi kemanusiaan” yang sulit dicarikan penyelesainnya. Padahal, semua ajaran agama-agama besar itu menyerukan untuk menciptakan perdamaian di muka bumi dengan menjunjung tinggi semangat menebar kasih sayang di antara sesama manusia.

Secara sosiologis, pertemuan agama Yahudi, Kristen dan Islam sudah berlangsung sangat lama. Berbagai dialog sudah dan sedang dilakukan oleh mereka dalam rangka mencari persamaan dan perbedaannya, baik dari aspek tradisi ritualnya sampai pada tataran teologisnya. Dialog dalam konteks teologis pada dasarnya bukan hanya mencari perbedaan semata, tetapi hal itu akan menjadi basis etika hubungan kemanusiaan. Dalam arti, agama-agama apa saja dalam melangsungkan dialog tidak menjadi “tabu” ketika sekaligus mencari persamaan dan perbedaannya dalam tataran teologisnya, yang pada gilirannya menjadikan spirit “agree and dis-agreement” (kesafahaman dalam perbedaan). Hal ini juga sesuai dengan pernyataan filosof modern Hans Kung yang dikutip Nurcholis Madjid, “No peace among the nations without peace the religions; No peace among religions without dialog between the religions; No dialogue between religions without investigating the foundation of the religions”.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Kamis, 15 Mei 2008

Kursi Presiden=Kursi Panas

Menjelang pemilihan kepala Negara (Presiden) tahun 2009, bangsa Indonesia dengan segenap komponennya sudah banyak melakukan berbagai persiapan. Mulai dari perangkat undang-undangnya, mekanisme pemilihan, hingga yang berkaitan dengan anggaran biayanya. Langkah-langkah semua itu dalam rangka mempersiapkan puncaknya pesta demokrasi pasca proses Pilkada di sebagian wilayah Indonesia. Meskipun dalam tataran realita, masih banyak yang harus ditinjau ulang tentang pesta demokrasi yang dilaksanakan di daerah-daerah tertentu. Hal ini merupakan perwujudan dari proses pembelajaran berdemokrasi bagi seluruh bangsa Indonesia setelah runtuhnya rezim Orde Baru -- yang sempat mengalami “mati suri”.



Dalam perjalanan berikutnya, demokrasi di Indonesia mengalami pasang-surut yang berarti. Dampak yang ditimbulkan oleh uji coba demokrasi murni tidak jarang memunculkan sikap-sikap intoleransi, karena atas nama perjuangan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan. Tak pelak lagi, ujung-ujungnya seringkali menimbulkan gesekan atau konflik horizontal yang berlarut-larut sekaligus sulit untuk dicarikan solusinya. Diakui atau tidak, demokrasi adalah pilihan sistem kenegaraan yang sangat berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Tapi sejauh ini hanya sistem demokrasi yang dapat diandalkan accountability –nya ketimbang sistem yang lainnya.

Sekali lagi berkaitan dengan Pilpres yang akan datang di Indonesia, nampaknya perangkat lunak demokrasi sudah dipersiapkan sedemikan rupa meskipun masih perlu diperbaiki di sana-sini. Namun persoalan yang muncul berikutnya, adalah apakah demokrasi yang sedang ditegakkan di bumi pertiwi ini berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya? Ataukah dengan proses demokrasi ala Indonesia ini semakin membawa ke arah yang lebih baik ataukah justru sebaliknya?

Kedua pertanyaan di atas sebetulnya hanya dapat dijawab oleh segenap warga-bangsa yang merasa mempunyai kepedulian yang konprehensip tentang nasib bangsa ke depan. Tanpa kepedulian dan empati tentang nasib seluruh persoalan-persoalan kebangsaan, mungkin sulit diharapkan akan dapat bangkit dari “mati suri” nya bangsa ini.

Siapapun dan dari golongan manapun pimpinan nasional (Presiden) yang akan datang, pada umumnya rakyat tidak akan mempersoalkan sejauh prilakunya menyentuh aspek-aspek substantive-populis. Bagi rakyat, Presiden di masa depan adalah figure yang mempunyai “imajinasi” kerakyatan, atau yang selalu berempati dengan problem-problem rakyat banyak. Mulai dari aspek kesejahteraan, pendidikan, keamanan, partisipasi politik dan perlakuan hukum yang adil dan lain sebagainya. Itu semua yang diidam-idamkan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang latar belakang calon pimpinan nasional di masa depan.

Sebetulnya, hari ini para penyelenggara Negara belum – untuk tidak menyebutkan sama sekali – memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesejahteraan dan rasa keadilan pada seluruh rakyat. Hari ini pula, rakyat keseluruhan sudah hampir kehilangan kepercayaan kapada seluruh pemimpin di semua lapisan. Mulai dari pemimpin partai politik, birokrasi dan para pejabat publik. Krisis kepercayaan ini pada gilirannya pada pejabat tinggi Negara tidak terkecuali Presiden dan Wakilnya.

Untuk itu, ke depan kursi RI 1 (Presiden) di Indonesia bukanlah sebuah anugerah atau “kursi empuk” bagi siapapun. Tapi, merupakan “kursi panas” yang mempunyai konsekuensi logis terhadap nasib seluruh warga-bangsanya. Setuju atau tidak, kepemimpinan selalu berjalan beriringan dengan hukum alam (natural selection). Jadi artinya, apabila seorang pemimpin yang tidak dapat memenuhi kriteria integritas-universal, maka dengan sedirinya akan tergusur atau terpelanting dari posisi kepemimpinannya alias akan di-lengser-kan atau ter-lengser-kan.


baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Selasa, 08 April 2008

Dies Natalis ke 40 UIN SGD Bandung: Sebuah Refleksi

Lazimnya, usia 40 tahun merupakan tahapan final pematangan sikap mental bagi manusia pada umumnya. Sebagian pakar psikologi mengkatagorikan usia 40 tahun adalah starting-point perubahan identitas, baik yang berorientasi progress (maju) maupun regress (mundur). Arti kata, di usia 40 tahun, seseorang akan diverifikasi tingkat kedewasaannya dalam menentukan arah perjalanan hidupnya di masa depan. Sekedar ilustrasi, Muhammad SAW. pun dilantik menjadi Rasul oleh Allah SWT di saat usia 40 tahun, meskipun pada gilirannya hanya Allah sendiri yang mengetahui rahasia dibalik kematangan usia tersebut.


Adalah UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Gunung Djati Bandung yang pada tanggal 8 April 2008 menapaki usia yang ke 40 tahun. Sesuai dengan proses perjalanan waktu -- UIN SGD yang dulunya bernama IAIN SGD – sudah menjadi “makhluk” institusi pendidikan yang secara psikologis “terkesan” lebih dewasa dan “matang”. Perjalanan panjang yang sudah ditempuh UIN SGD selama ini, sudah lebih dari cukup untuk dijadikan proses pembelajaran (learning process) dalam rangka menyongsong masa depan yang lebih baik. Semua “batu sandung” yang selama ini menjadi kendala, patut dijadikan pelajaran yang berharga untuk selalu dicarikan alternatif pemecahannya.

Sebagai bahan evaluasi, UIN SGD secara proporsional perlu mendapat perhatian khusus dari segenap stake holders agar segera mungkin dapat melakukan pembenahan internal dengan serius, antara lain:

Aspek Akedemik
Secara ideal, sebuah Perguruan Tinggi (PT) tidak terkecuali UIN SGD akan menjadi institusi pendidikan yang dianggap centre of excellence, bila secara terus-menerus meng-update piranti-piranti akademiknya. Maksudnya, akan menjadi lebih progress apabila secara periodik UIN senantiasa melakukan monitoring dan evaluasi (monev) tentang perkembangan akademik yang selama ini telah dan sudah diselenggarakan. Hal ini dilakukan untuk melihat sejauh mana efektifitas dan efisiensi (tepat sasaran) kurikulum yang sudah di berlakukan oleh institusi terhadap mahasiswanya. Termasuk di dalamnya metode dan proses belajar mengajar (PBM) yang digunakan oleh para dosennya, sekaligus dengan berbagai fasilitasnya.

Setuju atau tidak, selama ini peningkatan kualitas akademik UIN SGD masih dirasakan kurang maksimal. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal demikian, antara lain; pertama, tradisi akademik kurang mendapat porsi yang selayaknya. Artinya, minimnya minat sebagian civitas akademik (mahasiswa dan dosen) untuk terlibat dalam kelompok-kelompok studi atau klub diskusi ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada melemahnya spirit sensifitas dan kritisisme terhadap isu-isu kontemporer baik internal maupun eksternal. Bahkan pada gilirannya, secara kualitatif output atau “jebolan” UIN SGD – ekstrimnya—terkesan menjadi second class di masyarakat, kendatipun pernyataan ini tidak sepenuhnya benar.

Kedua, masih ada dari beberapa staf pengajar (dosen) yang belum mendapatkan fasilitas (subsidi) memadai untuk melanjutkan studinya. Akibat dari hal ini, tidak sedikit dosen mencari tambahan income dari luar kampus untuk pendidikan lanjutan yang mereka tempuh. Realitas demikian ini – untuk tidak menyebut apologetik -- berakibat pada terganggunya profesionalisme dosen yang berkewajiban maksimal untuk mengabdi di kampus. Ketiga, belum adanya figur – baik kaliber lokal maupun nasional -- yang dapat memberikan tauladan atau pengaruh positif terhadap keberadaan seluruh civitas akademika maupun alumni berikutnya.

Aspek Kemahasiswaan

Adalah mahasiswa, yang secara substansif mempunyai peran dominan dalam proses dinamika institusi perguruan tinggi (UIN). Secara kuantitatif kegiatan kemahasiswaan di UIN SGD menunjukkan progresifitas yang berarti. Dalam konteks historis, kegiatan kemahasiswaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sesuai dengan tuntutan keberadaan unit-unit lembaga/organisasi mahasiswa yang secara legal-formal diakui oleh lembaga PT. Tetapi secara kualitatif, kegiatan kemahasiswaan masih perlu peningkatan yang signifikan dalam rangka mengikuti tuntutan perkembangan dunia perguruan tinggi. Artinya, setiap kegiatan lembaga-lembaga kemahasiswaan – intra maupun ekstra – selalu up-to-date dan sesuai dengan jati diri dunia mahasiswa yang selalu berperan sebagai moral-force dan lebih mengedapankan kepeduliannya terhadap masyarakat pada umumnya.

Kongkritnya, dunia kemahasiswaan di UIN SGD ke depan, semestinya semakin banyak memberikan kontribusi nyata akan kepentingan umat/rakyat. Dengan begitu, rakyat dapat merasakan langsung eksistensi mahasiswa yang nota-bene sebagai agent of social changes atau agen perubahan sosial. Untuk menciptakan sikap mental seperti itu, diperlukan pembinaan yang intensif atau up-grading terhadap para calon aktifis mahasiswa agar lebih sensitif dan merasa including dengan seluruh problem sosial.

Aspek Pengabdian Masyarakat
Sudah menjadi image umum, bahwa keberadaan Perguruan Tinggi (PT) adalah refleksi dari sebuah masyarakat di mana PT itu berada. Demikian halnya UIN SGD yang berada di wilayah Jawa Barat, seyogyanya mempunyai peran yang strategis bagi keberlangsungan umat Islam dari aspek pendidikan tinggi-plus (agama). Citra demikian ini sulit terbantahkan, bila eksistensi UIN SGD selama ini terasakan langsung oleh umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Oleh karenanya, dengan semakin kompleksnya problem keumatan paling tidak di wilayah Jawa Barat, -- seperti isu anarkhisme yang mengatasnamakan agama, munculnya aliran-aliran “sesat” dan isu-isu yang sejenisnya -- maka idealnya UIN SGD dengan kecerdasan emosionalnya dapat memberikan solusi yang genuine sesuai dengan kontekstualisasi ajaran Islam dan semangat rahmatan lil alamin. Sehingga pada gilirannya, kehadiran UIN SGD sangat dirasakan oleh seluruh masyarakat dan akan selalu didambakan untuk menjadi problem solver yang kaitanya dengan keislaman dan keumatan. Bahkan boleh jadi dalam konteks makro, UIN SGD akan dilibatkan secara resmi oleh lembaga-lembaga terkait untuk merumuskan persoalan-persoalan kebangsaan dan sekaligus menjadi grand setter-nya.

UIN SGD Masa Depan
Untuk merespon hal di atas, ada beberapa langkah strategis yang harus ditempuh oleh UIN SGD sebagai perguruan tinggi plus (Islam), antara lain: Pertama, diperlukan motivasi dan kesungguhan dari seluruh civitas akademika UIN SGD Bandung untuk selalu siap merubah diri dan lebih-lebih siap untuk membuka diri dari segala koreksi oleh berbagai pihak. Mungkin agak terlalu sederhana untuk dikatakan -- ketertinggalan UIN SGD dari perguruan tinggi yang lain di masa lalu – salah satunya disebabkan kurang memaksimalkan “alat kontrol” (Senat dan sejenisnya) yang memberikan masukan tentang langkah-langkah strategis dalam memajukan intitusi pendidikan yang ideal. Lebih jelasnya, dalam membenahi UIN SGD di berbagai aspek diperlukan keterlibatan semua pihak yang berkompeten untuk memberikan kontribusi sesuai dengan bidang keahliannya. Tanpa hal ini, sulit mewujudkan sebuah lembaga pendidikan tinggi yang sesuai dengan harapan umat dan masyarakat Jawa Barat pada umumnya.

Kedua, pembenahan dan penguatan pada aspek kelembagaan. Artinya, UIN SGD sebagai institusi pendidikan tinggi, semaksimal mungkin membenahi dirinya terutama pada aspek managemen, baik administrasi, keuangan, dan delegation of authority atau pembagian kerja yang proporsional dan profesional. Hal ini sesuai dengan prinsip managemen modern yang selalu mengedepankan efektifitas dan efisiensi, selain kompetensi. Tidak kalah pentingnya, dalam penguatan kelembagaan juga ada semangat tranparansi yang mesti dijunjung tinggi, apalagi dalam rangka pencitraan dan ketauladanan yang positif terhadap masyarakat pada umumnya.

Ketiga, lebih mengedapankan dunia akademik dan memelihara tradisi intelektual. Sudah menjadi keharusan universal bagi lembaga perguruan tinggi termasuk UIN SGD untuk senantiasa menciptakan semangat intelektualitas yang tinggi dan terus-menerus, termasuk persyaratan utama dalam konteks kepemimpinan institusi. Sebab pada gilirannya “seleksi alam” atau sunnatullah yang akan memberikan pelajaran berharga bagi mereka yang konsisten maupun yang inkonsistensi, sebagai sebuah konsekuensi logis. Wallahu’alam

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Senin, 24 Maret 2008

Alamat-alamat (E-Mail) Surat Kabar Nasional

Bila anda bermaksud ngirim artikel, tulisan, berita, info mendadak dll. ke media yang anda inginkan, barangkali di sini akan anda dapatkan. Jika ternyata sudah berubah, mohon maklum. Bahkan saya mohon diberitahu jika ada perubahan alamat. Ini pun saya dapat dari temen2 di blogger ini. Mudah-mudahan manfaat.....

SURAT KABAR NASIONAL

THE JAKARTA POST
E-mail Address(es):
opinion@thejakartapost.com

THE JAKARTA POST
E-mail Address(es):
jktpost2@cbn.net.id

THE JAKARTA POST
E-mail Address(es):
editorial@thejakartapost.com

THE JAKARTA POST
E-mail Address(es):
sundaypos@thejakartapost.com

THE JAKARTA POST
E-mail Address(es):
features@thejakartapost.com

JAWA POS
E-mail Address(es):
editor@jawapos.com

KOMPAS
E-mail Address(es):
kompas@kompas.com

KOMPAS
E-mail Address(es):
opini@kompas.com

KOMPAS
E-mail Address(es):
opini@kompas.co.id

KOMPAS
E-mail Address(es):
kcm@kompas.com

MEDIA INDONESIA
E-mail Address(es):
redaksi@mediaindonesia.co.id

MEDIA INDONESIA
E-mail Address(es):
webmaster@mediaindonesia.co.id

MEDIA INDONESIA
E-mail Address(es):
redaksimedia@yahoo.com

SEPUTAR INDONESIA
E-mail Address(es):
widabdg@seputar-indonesia.com

SEPUTAR INDONESIA
E-mail Address(es):
redaksi@seputar-indonesia.com

REPUBLIKA
E-mail Address(es):
rekor@republika.co.id

REPUBLIKA
E-mail Address(es):
medika@republika.co.id

REPUBLIKA
E-mail Address(es):
sekretariat@republika.co.id

HARIAN IBU
E-mail Address(es):
redaktur@harianibu.com

SURAT KABAR JAKARTA

MERDEKA
E-mail Address(es):
merdekanews@yahoo.com

HARIAN INDONESIA
E-mail Address(es):
redaksi@harian-indonesia.com

RAKYAT MERDEKA
E-mail Address(es):
redaksi@rakyatmerdeka.co.id

HARIAN JAKARTA
E-mail Address(es):
aristo@harianjakarta.com

HARIAN JAKARTA
E-mail Address(es):
aristo_jakarta@yahoo.com

INVESTOR DAILY
E-mail Address(es):
koraninvestor@investor.co.i

KOMPAS INSIDE
http://www.kompasinside.blogspot.com

SURAT KABAR JAWA BARAT

KOMPAS JABAR
E-mail Address(es):
kompasjabar@kompas.co.id

SUARA PEMBARUAN
E-mail Address(es):
koransp@suarapembaruan.com

SUARA PEMBARUAN
E-mail Address(es):
opini@suarapembaruan.com

SINAR HARAPAN
E-mail Address(es):
info@sinarharapan.co.id

SINAR HARAPAN
E-mail Address(es):
opinish@sinarharapan.co.id

SINAR HARAPAN
E-mail Address(es):
redaksi@sinarharapan.co.id

RADAR BANDUNG
E-mail Address(es):
radarbandung@gmail.com

RADAR BANDUNG
E-mail Address(es):
radarbandung@yahoo.co.uk

METRO BANDUNG
E-mail Address(es):
metrobdg@rad.net.id

KORAN SUNDA
E-mail Address(es):
koran_sunda@yahoo.co.id

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
redaksi@pikiran-rakyat.com

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
cakrawala@pikiran-rakyat.co.id

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
kampus@pikiran-rakyat.co.id

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
belia_pr@yahoo.com

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
gelora@pikiran-rakyat.co.id

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
dwi@pikiran-rakyat.co.id

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
otokirpr@pikiran-rakyat.co.id

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
didih_otokir@yahoo.com

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
mardjanzen@yahoo.com

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
prminggu@pikiran-rakyat.co.id

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
seagpr@yahoo.com

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
khazanah@pikiran-rakyat.co.id

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
beritapr@yahoo.com

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
seagpr@yahoo.com

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
percil@pikiran-rakyat.co.id

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
wakhu@yahoo.com

PIKIRAN RAKYAT
E-mail Address(es):
belia@pikiran-rakyat.co.id

PIKIRAN RAKYAT (BUDHIANA)
E-mail Address(es):
budipr_bdg@yahoo.com

TRIBUN JABAR
E-mail Address(es):
tribunjabar@persda.co.id
atau tribunjabar@yahoo.com

SURAT KABAR JAWA TENGAH DAN JOGJA

KOMPAS JATENG
kompasjateng@kompas.co.id

KOMPAS JOGJA
kompasjogja@kompas.co.id

SUARA KARYA
E-mail Address(es):
redaksi@suarakarya-online.com

SUARA MERDEKA
E-mail Address(es):
humainia@yahoo.com

SUARA MERDEKA
E-mail Address(es):
redaksi@suaramer.famili.com

SOLO POS
E-mail Address(es):
litbang@solopos.net

SOLO POS
E-mail Address(es):
redaksi@solopos.net

WAWASAN
E-mail Address(es):
redaksi@wawasan.co.id

BERNAS
E-mail Address(es):
bernasjogja@yahoo.com

BERNAS
E-mail Address(es):
editor@bernas.co.id

KEDAULATAN RAKYAT
E-mail Address(es):
redaksi@kr.co.id

RADAR KUDUS
E-mail Address(es):
radarkudus@hotmail.com

SURAT KABAR JAWA TIMUR

KOMPAS JATIM
kompas@sby.dnet.net.id

SURYA
E-mail Address(es):
surya1@padinet.com

SURABAYA NEWS
E-mail Address(es):
surabaya_news@yahoo.com

SURABAYA POST
E-mail Address(es):
redaksi@surabayapost.info

SURABAYA POST
E-mail Address(es):
tya@surabayapost.info

SURABAYA POST
E-mail Address(es):
surabayanews2003@yahoo.com

DUTA MASYARAKAT
E-mail Address(es):
dumas@sby.centrin.net.id

RADAR SURABAYA
radarsurabaya@yahoo.com

SURAT KABAR BALI, SUMATERA, KALIMANTAN DAN SEKITARNYA

SURAT KHABAR BALI DAN SEKITARNYA
BALI POST
E-mail Address(es):
balipost@indo.net.id

BISNIS BALI
E-mail Address(es):
info@bisnisbali.com

DENPASAR POS
E-mail Address(es):
denpostbali@yahoo.com

DENPASAR POS
E-mail Address(es):
denpos@indo.net.id

POS KUPANG
E-mail Address(es):
poskupang@kupang.wasantara.net.id

POS KUPANG
E-mail Address(es):
poskupang@persda.co.id

SURAT KHABAR KALIMANTAN
RADAR BANJARMASIN
E-mail Address(es):
afoez99@gmail.com

RADAR BANJARMASIN
E-mail Address(es):
redaksi@radarbanjarmasin.com

BANJARMASIN POST
E-mail Address(es):
banjarmasin_post@yahoo.com

BANJARMASIN POST
E-mail Address(es):
banjarmasin_post@persda.co.id

BANJARMASIN POST
E-mail Address(es):
bpostmania@telkom.net

PONTIANAK POST
E-mail Address(es):
redaksi@pontianakpost.com

KALTIM POST
E-mail Address(es):
redaksi@kaltimpost.net

SURAT KHABAR SUMATERA
RIAU POS
E-mail Address(es):
redaksi@riaupos.co.id

LAMPUNG POST
E-mail Address(es):
redaksilampost@yahoo.com

BANGKA POS
E-mail Address(es):
bangkapos@yahoo.com

BANGKA POS
E-mail Address(es):
redaksi@bangkapos.com

BATAM POS
E-mail Address(es):
redaksi@harianbatampos.com

SRIWIJAYA POST
E-mail Address(es):
sriwijayapost@yahoo.com

SRIWIJAYA POST
E-mail Address(es):
sripo@persda.co.id

RIAU TRIBUNE
E-mail Address(es):
riautribune@yahoo.com

SERAMBI
E-mail Address(es):
serambi@indomedia.com

SERAMBI NEWS
E-mail Address(es):
redaksi@serambinews.com

MAJALAH

Berikut ini beberapa majalah yang beredar di sekitar kita.

READER'S DIGEST
E-mail Address(es):
Respati.Wulandari@feminagroup.com

READER'S DIGEST
E-mail Address(es):
editor.rd@feminagroup.com

SALAFY
E-mail Address(es):
majalahsalafy@ygy.centrin.net.id

SINYAL
E-mail Address(es):
redaksi@majalahsinyal.com

SUARA HIDAYATULLAH
E-mail Address(es):
redaksi@hidayatullah.com

SUARA HIDAYATULLAH
E-mail Address(es):
majalah@hidayatullah.com

SWA
E-mail Address(es):
swaredaksi@cbn.net.id

SWA
E-mail Address(es):
sekredswa@yahoo.com

TEMPO
E-mail Address(es):
koran@tempo.co.id

TEMPO
E-mail Address(es):
teknologi@tempo.co.id

TRUST
E-mail Address(es):
redaksi@majalahtrust.com

ANNIDA
E-mail Address(es):
annida@ummigroup.co.id

BOBO
E-mail Address(es):
bobonet@gramedia-majalah.com

FORUM
E-mail Address(es):
forumkeadilan@yahoo.com

FORUM
E-mail Address(es):
redaksi@forum.co.id

GADIS
E-mail Address(es):
info@gadis-online.com

GATRA
E-mail Address(es):
redaksi@gatra.com

GATRA
E-mail Address(es):
gatra@gatra.com

GATRA
E-mail Address(es):
surat@gatra.com

GE MOZAIK
E-mail Address(es):
ge_mozaik@ganeca-exact.com

GONG
E-mail Address(es):
gongetnik@yahoo.com

HAI
E-mail Address(es):
hai_magazine@gramedia-majalah.com

HEALTHY LIFE
E-mail Address(es):
read_healthylife@yahoo.com

INFOLINUX
E-mail Address(es):
redaksi@infolinux.co.id

INSIDE INDONESIA
E-mail Address(es):
admin@insideindonesia.org

INTISARI
E-mail Address(es):
intisari@gramedia-majalah.com

MAJALAH ILMIAH QUAD
E-mail Address(es):
quad@brawijaya.ac.id

MAJALAH ILMIAH TEKNIK ELEKTRO
E-mail Address(es):
hsantoso@bdg.centrin.net.id

MAJALAH ILMIAH TEKNIK ELEKTRO
E-mail Address(es):
eniman@paume.itb.ac.id

MAJALAH ILMIAH UNJANI
E-mail Address(es):
unjani@bdg.centrin.net.id

MAJALAH ILMIAH UNJANI
E-mail Address(es):
fmunjani@bdg.centrin.net.id

MATABACA
E-mail Address(es):
ade_trimarga@yahoo.com

MATABACA
E-mail Address(es):
adetri@matabaca.com

MATABACA
E-mail Address(es):
redaksi@matabaca.com

MATRA
E-mail Address(es):
matranet@rad.net.id

NEOTEK
E-mail Address(es):
redaksi@neotek.co.id

PARAS
E-mail Address(es):
majalahparas@yahoo.coma

TABLOID

TABLOID

TABLOID INTELIJEN
E-mail Address(es):
tabloid_intelijen@yahoo.com

TABLOID ROAMING
E-mail Address(es):
redaksi@tabloidroaming.com

TABLOID SMS
E-mail Address(es):
tabloid_sms@yahoo.com

TREN DIGITAL
E-mail Address(es):
trendigital@bisnis.co.id

TREN DIGITAL
E-mail Address(es):
ahmad.djauhar@bisnis.co.id

TREN DIGITAL
E-mail Address(es):
web@bisnis.co.id

JURNAL

Berikut ini alamat beberapa jurnal.
JURNAL
E-mail Address(es):
jurnal@cbn.net.id

JURNAL ILMIAH HUKUM LEGALITY...
E-mail Address(es):
heru@umm.ac.id

JURNAL ISLAM
E-mail Address(es):
jurnalislam@yahoo.com

JURNAL PEMIKIRAN ISLAM
E-mail Address(es):
i3ti@indosat.net.id

JURNAL RISTEK
E-mail Address(es):
jurnal@ristek.go.id

JURNAL SAINS MATEMATIKA TEKN...
E-mail Address(es):
jmst@utlab.ut.ac.id

Sumber : http://alamat-media.blogspot.com/
Thx.



baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Sabtu, 08 Maret 2008

Saya Dan Andrea Hirata

Mutakhir saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya jatuh cinta pada tulisan sastra. Biasanya saya membaca judulnya saja karya-karya sastra, apa itu novel, cerita pendek dan sejenisnya sama sekali kurang minat. Malahan males-malesan untuk sekedar meliriknya saja. Kalau melihat kawan-kawan saya yang berminat, bahkan yang fanatik banget sama karya-karya sastra, saya berfikir, apa sih asyiknya baca buku-buku itu, kok sepertinya buku-buku itu menghipnotis mereka. Mungkin ekstrimnya, buku-buku itu lebih enak dan lezatnya melebihi makanan cepat saji seperti Mc Donald, KFC, CFC, atau makanan khas sunda dengan sambel dan lalapannya. Pokoknya, sulit diterima akal sehat saya.

Pernah di masa SLTA sampai awal masuk kuliah, saya diberi anugerah minat baca komik "Kho Ping Ho",yang berjilid-jilid, mungkin seingat saya puluhan jilid dalam satu judul. Alhasil, komik-komik itu saya lalap sampai-sampai lupa jam makan (sebetulnya saya tidak pernah mengenal jam makan, sebab tergantung punya uang atau tidak). Seingat saya, pernah bolos kuliah, karena tuntaskan komik Kho Ping Ho yang berjudul "Pendekar Seruling Emas". Pada saat itu, saya tidak merasa menyesal karena tidak masuk kuliah gara-gara penasaran ingin tuntaskan cerita yang menurut saya saat itu sangat asyik dan nikmat.Tapi, sesuai dengan berjalannya waktu -- saya mulai setengah serius kuliah dan menfokuskan pada mata kuliah sosiologi -- minat saya menurun dengan buku-buku bacaan yang berkaitan dengan sastra, apa saja judul dan pengarangnya.


Saya transisi, bukan benci dan bukan seneng, bukan celaan dan bukan apresiatif, tidak dekat dan tidak jauh -- lebih tepat tidak punya definisi yang pas untuk memotret karya sastra. Mungkin saya sudah melepaskan stereotype yang dulu yang pernah bersenyawa dengan jiwa saya. Boleh jadi, para penggiat sastra menganggap orang yang tidak tersentuh dengan karya sastra seperti rumput kering di pada ilalang yang sewaktu-waktu mudah terbakar. Memang, pernah saya seperti rumput kering yang gampang terbakar, mudah tersentak, reaksioner dan dahi mudah "kerung" (Bhs.Sunda yang artinya ditengah-tengah antara dua mata melipat menyerupai angka 11), kata teman, kalau dahi kerung terus-menerus akan terjadi akselerasi usia "kokolot begog" (Bhs. Sunda: artinya,tua sebelum waktunya).


Langsung saja, waktu itu saya tak sengaja nonton acara Kick Andy di Metro TV, yang tanpa tendensius membiarkan terus channel TV itu meliput Andy F Noya sebagai presenter yang mewancarai seseorang berambut gondrong. Kebetulan remote control TV saya pegang (biasanya sama anak saya yang nomor 2),dan saya suka dengan gaya zig-zag kalau ekplorasi acara TV -- mencari acara yang sesuai dengan hasrat personal dan komunal. Yang terakhir ini berdasarkan reques dari publik family di sekitar saya.


Sekali lagi, lemat-lemat sambil jari-jari jempol siap memindahkan channel -- saya mendengarkan dialog Andy dengan laki-laki rambut gondrong usia setengah baya itu, membahas tentang karya tulis best seller yang sebagian besar bersumber dari realitas hidupnya sang penulis. Tadinya saya tidak berminat melihat tayangan itu, sebab performance laki-laki gondrong itu bukan seperi cendekiawan, ilmuwan terkenal, budayawan, sang maestro, ustadz kondang,atau kalangan selebritis yang lagi ngetren.Tapi sejenak, saya dibikin tercegang setengah bengong, laki-laki itu menceritakan karya tulisnya didasarkan realitas hidupnya yang amat sangat inspiratif dan fantastis.

Antara percaya dan tidak, selang beberapa menit kemudian, Andy presenter memanggil saksi hidup untuk mengkonfirmasi validitas presentasi laki-laki gondrong setengah galing itu. Dari situlah saya mulai serius -- sambil sila di depan TV -- menyaksikan dramatisasi antara penulis dan saksi hidup yang sudah lama tidak berjumpa. Ternyata, sang penulis yang baru saya kenal dari TV itu bernama Andrea Hirata dan saksi hidupnya Ibu Muslimah – Ibu guru Andreas semasa di SD Muhammadiyah Belitong.

Tayangan itu, sekelebatan seperti aroma bunga melati di depan rumah yang baru mengeluarkan wewangiannya ketika di malam hari. Saya mulai merasakan ada sesuatu yang mempengaruhi aspek afeksi dengan sedikit melupakan aspek kognisi saya. Meskipun pada hari ke tiga setelah melihat acara TV yang memukau itu, saya mulai akrab lagi dengan dunia yang selama ini saya geluti yaitu produk August Comte – konon Bidannya Sosiologi. Seperti biasanya saya hanyut lagi di samudra yang selalu haru-biru dengan segala yang serba empirik.

Lagi-lagi saya belum begitu tertarik dengan bacaan-bacaan sastra, hanya saja ketika ada salah satu teman yang mengebu-ngebu mengapresiasi karya Andreas Hirata yang berjudul “Laskar Pelangi”, saya jadi penasaran, apa sih bagusnya?!. Sesampai di rumah, anak saya yang pertama kelas 1 MTs (setingkat SMP), menceritakan tentang pertemuannya dia dengan Andreas Hirata yang kebetulan diundang ke sekolahnya dan membagi-bagikan karya novelnya yang sama pada beberapa murid yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Meskipun anak saya tidak kebagian gratis, tapi dia sempat meminjam dari temannya untuk dibaca, dan ternyata dia juga terkena “magnet” karya sang penulis cerdas itu. Semakin menambah kepenasaran, secepat kilat saya pun mencari buku-buku karya Andreas Hirata ke beberapa toko buku. Alhamdulillah saya temukan paling tidak yang bisa saya beli yaitu Novel Tetralogi “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi”. Dan masih ada dua karya novelnya yang belum sempat saya beli yaitu Edensor” dan “Maryamah Karpov “.

Dari situ, saya mulai menikmati karya sastra yang menurut saya sangat luar biasa. Sebab terlepas setuju atau tidak, menurut saya sebuah karya sastra dianggap exellences kalau dapat menggugah emosi afeksi di bawah alam sadar. Artinya, tatkala seseorang membaca sebuah karya sastra yang dianggap representatif, secara otomatis si pembaca akan merasa terlibat di dalamnya sekaligus memicu hormon adrenalin untuk melakukan sesuatu. Paling tidak, karya itu pada gilirannya mempengaruhi pola prilaku para pembaca, minimal semakin memotivasi untuk selalu eksplorasi setiap jengkal dari karya-karya sastra yang lain.

Untuk tidak terlalu “mengkultuskan” -- saya berusaha untuk menetralisir dengan bacaan-bacaan yang bernafaskan positivistik -- ketika saya dalam proses memahami jalan pikiran Andreas. Alih-alih sebagai balancing, ternyata saya menikmati betul apa yang dia tulis kata demi kata, kalimat demi kalimat, yang kadangkala masih juga perlu penjelasan dari glosary nya.

“Wow Luar biasa karya ini !?”, gerutu saya. Sampai-sampai (maaf bang Andrea), sambil ke kamar mandi pun saya baca novel-novel dia. Tanpa saya sadari saat-saat membaca novelnya, saya tersenyum sendiri, tertawa terbahak-bahak sendiri bahkan ikut berempati ketika menikmati bacaan itu. Malahan kadangkala keasyikan yang saya raih itu, ingin dibagikan ke teman-teman atau orang-orang disekeliling. Sebab seingat saya, selama hidup belum pernah saya membaca buku apa saja judulnya, terbawa emosi dan memberikan apresiasi berlebihan. Baru kali ini saya merasakan kenikmatan membaca seperti menikmati minuman segar dikala dahaga saat berbuka puasa. Sekali lagi, “Wow luar biasa karya Andreas Hirata ini”.

Untuk Andrea Hirata, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas karyanya yang dapat memotivasi saya dan para pembaca yang lain untuk lebih berkreasi dan lebih produktif. Dan saya beranggapan karya-karya anda layak mendapatkan penghargaan karya sastra luar biasa di era mutakhir ini. Semoga anda tetap dalam lindungan Tuhan YME ketika anda menulis karya berikutnya, sehingga selalu mempunyai makna dan “ruh” untuk menciptakan sebuah perubahan etos atas makhluk Indonesia yang hari ini sedang banyak dirundung krisis multi-dimensi. Bravo Andrea Hirata.


baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Rabu, 20 Februari 2008

Pendidikan Anti Korupsi Semenjak Usia Dini

Semarak pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan ini, mengindikasikan keseriusan pemerintah Indonesia untuk menghilangkan praktek-praktek amoral dan ahumanis itu. Tidak sedikit para oknum aparatur negara atau pengusaha nakal yang sudah dan telah menjalani proses hukum di era kepemimpin SBY yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekayaan negara. Pro-kontra pun mewarnai proses hukum yang berjalan sesuai dengan latar-belakang kepentingannya masing-masing. Sebagian beranggapan proses hukumnya bernuansa politis, dengan asumsi "tebang pilih". Sebagian lagi, beranggapan proses hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jelasnya, ternyata itikad (niat) baik itu tidak selalu berjalan mulus meskipun berkaitan kebenaran universal (semua manusia sepakat).


Untuk tidak menyebut "lamban dan ragu-ragu", para pengamat beranggapan bahwa pemerintahan SBY dalam setiap mengambil kebijakannya senantiasa terkesan kurang tegas, tidak terkecuali kasus korupsi. Boleh jadi, gaya atau style SBY yang "flamboyan" itu sudah menjadi bagian dari karakter personality dia. Terlepas setuju atau tidak, itulah gaya yang dimiliki oleh Presiden kita hari ini. Memang, kadangkala dalam hal-hal tertentu menguntungkan, namun dalam konteks pemberantasan korupsi, praktis dibutuhkan akselerasi yang proporsional. Maksudnya, bila penanganan kasus korupsi kurang tanggap dan cepat, para "penyamun" uang negara itu keburu kabur, atau menghilangkan barang bukti. Realitas yang demikian ini sudah berulang-ulang terjadi, seperti para Obligator BLBI sebagian sudah tidak berada di Indonesia, dan masih banyak lagi kasus yang serupa.

Pada dasarnya, mayoritas masyarakat kita amat sangat berharap seluruh kekayaan negara dapat dikembalikan dari para koruptor itu, untuk membantu menyelesaikan krisis ekonomi yang sampai sekarang mendera bangsa kita. Tetapi apa yang terjadi hari ini? pemberantasan korupsi berbanding lurus dengan masih menjamurnya praktek-praktek korupsi di Pusat maupun di daerah. Lagi-lagi muncul pertanyaan, apa yang terjadi dengan warga-bangsa kita? Sejauh mana parahnya kondisi mental-spiritual warga bangsa kita? Apakah ada terapi mujarab yang dapat menghilangkan "penyakit" itu? Jawabannya terletak pada itikad baik dari seluruh kompenen bangsa untuk menyelesaikan kasus itu dengan sungguh-sungguh.

Adalah alternatif yang relatif dapat dijadikan salah satu terapi/metode dalam penyelesaikan korupsi di Indonesia. Yakni, memperkenalkan "Anti Korupsi" kepada anak didik (siswa) dalam bentuk "Mata Pelajaran Wajib" di sekolah-sekolah. Mata pelajaran Anti Korupsi itu, seyogyanya disajikan mulai dari tingkat dasar sampai menengah (SD-SMU). Terserah teknis penyajiannya, apakah digabungkan dengan mata pelajaran yang sejenis, seperti agama atau pendidikan moral. Ataukah menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri atau khusus yang menjadi bagian kurikulum nasional. Perihal ini, bisa didiskusikan lebih lanjut dengan para pakar pendidikan yang berkompeten. Tapi yang jelas, perlunya sosialisasi kepada anak didik (siswa) di sekolah-sekolah tentang praktek-praktek korupsi.

Ada beberapa keuntungan yang dapat diambil dari metode ini dalam memberantas korupsi di Indonesia. Pertama, para siswa dari semanjak usia dini sudah mengetahui tentang seluk-beluk praktek korupsi sekaligus konsekuensi yang akan diterima oleh para pelaku. Kedua, memberikan proses pembelajaran tentang kepakaan terhadap praktek-praktek korupsi yang ada disekitarnya. Ketiga, mendidik para siswa dari usia dini tentang akhlak atau moral yang sesuai dengan ajaran-ajaran sosial keagamaan. Keempat, menciptakan generasi penerus yang bersih dari prilaku penyimpangan kamanusiaan (dehumanisasi), dan kelima, membantu seluruh cita-cita warga bangsa dalam menciptakan good-goverment demi masa depan yang lebih baik dan beradab.

Dengan demikian, ke depannya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tidak terlalu banyak menyita energi dan ongkos sosial yang tinggi. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh sebagian besar warga bangsa melalui pendidikan, paling tidak akan semakin memperkecil prilaku korupsi -- meskipun tidak sekaligus musnah dari bumi Nusantara ini. Di atas itu semua, adalah niat baik disertai dengan usaha keras merupakan manifestasi dari "Insan Kamil" atau manusia yang sempurna sesuai dengan fitrahnya.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Selasa, 12 Februari 2008

Jangan Ada Dusta di Antara Kita

Perbedaan cara pandang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan sebagian anggota DPR RI tentang interpelasi BLBI, menjadi polemik yang menghangatkan atmosfir perpolitikan republik ini. Hampir semua orang tertuju pada polemik itu, meski sebagian warga masih ada yang larut atas meninggalnya Pak Harto (mantan Presiden RI ke 2) dengan berbagai beban hukumnya. Ternyata idiom interlepelasi bukan moment yang dianggap wajar dan lumrah dalam wacana demokrasi di negeri ini. Padahal di negara-negara yang menganut demokrasi, interpelasi sudah menjadi "sarapan" sehari-hari mereka. Apalagi dalam sistem demokrasi, interpelasi merupakan proses dialogis yang produktif antar eksekutif dan legislatif untuk mencari solusi yang terbaik bagi bangsa.

Dalam kasus ini, alih-alih ada komunikasi politik yang sehat antara Presiden SBY dan DPR RI, malahan keduanya saling adu argumentasi dengan berbagai retorika yang sulit dipahami oleh rakyat banyak. Lebih ironisnya lagi, permasalahan yang dijadikan polemik adalah sesuatu yang bersifat "teknis" dan tidak menyentuh substansi materi interpelasi BLBI. Sepertinya, satu sama lain sudah merasa perpegang pada mekanisme yang berlaku dan mengaku mempunyai otoritas truth klaim yang populis. Alhasil, kedua penyelenggara negara ini sulit ketemu dan dalam titik sumbu yang berbeda untuk hal yang tidak signifikan, sehingga gilirannya yang terjadi adalah sekedar "dramatisasi" dialogis yang absurd (nihil).

Bagi Presiden SBY, kehadiran di Sanayan (Gedung DPR RI) bukan keharusan dalam penyampaikan hak jawabnya kepada para wakil rakyat itu, sebab menurutnya cukup diwakilkan oleh para menterinya sebagai pembantu Presiden. Sementara sebagaian anggota DPR RI, beranggapan Presiden berkewajiban hadir untuk menyampaikan hak jawabnya tentang kasus BLBI dengan alasan keseriusan Presiden dalam menyelesaikan BLBI ditentukan oleh kehadirannya. Kedua alasan yang paradoks itu sebetulnya mencerminkan sikap ketidakdewasaan (childness) yang dipertontonkan kepada seluruh rakyat yang hari ini mereka didera berbagai kesulitan hidup. Terlepas dari reasoning yang mereka (Presiden dan DPR RI) kemukakan berdasarkan mekanisme dan aturan, tetapi ada fatsun politik yang mereka abaikan, yaitu kecerdasan emosional dalam berpolitik. Kecerdasan emosional inilah yang menjadi standar tingkat kedewasaan seseorang dalam menyelesaikan berbagai masalah, apalagi masalah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Menilik kasus interpelasi BLBI ini, sepertinya merefleksikan kepribadian dari para penyelenggara negara yang ternyata lebih banyak menonjolkan kepentingan politik jangka pendek ketimbang politik "Adi Luhung" atau "High Political". Hari ini, sebagian besar rakyat Indonesia sudah letih dan kehabisan energi untuk terus-menerus menyaksikan akrobat para penyelenggara negara tanpa menuai hasil yang berarti bagi semua warga negara. Dan yang paling menggembirakan lagi, rakyat sudah "melek" politik untuk melihat, mengawasi dan sekaligus mengevaluasi para manuver politik atau hidden agenda para pemimpinnya. Dengan begitu, lebih pantas kalau konteks ini meminjam judul lagu Brury Pesolima, "Jangan Ada Dusta di Antara Kita".

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Minggu, 03 Februari 2008

Konflik: Perbedaan Distribusi Otoritas

Sang teoritis konflik modern Ralf Dahrendorf (1958), menyatakan munculnya konflik sosial sistematis di semua asosiasi disebabkan terjadi perbedaan pendistribusian otoritas. Arti kata, otoritas atau kekuasaan lah selama ini yang menjadikan penentu utama konflik individu atau kelompok yang belakangan ini marak diberbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia.

Belajar dari proses perjalanan kepemimpinan Soeharto (rezim ORBA), banyak yang dapat dipetik untuk dijadikan proses pembelajaran yang berharga bagi warga-bangsa Indonesia. Paling menarik untuk direview adalah model distribusi otoritas yang dilakukan rezim ORBA, yaitu perpaduan yang tidak seimbang antara model fungsionalisme (keseimbangan) dengan konflik -- meski tidak disadarinya. Dalam perspektif Dahrendorf, yang dilakukan rezim ORBA atau rezim siapapun merupakan perwujudan yang mesti terjadi. Sebab, dalihnya bahwa otoritas dalam setiap asosiasi selalu bersifat dikotomi, yaitu satu sisi kelompok yang memegang posisi otoritas (superordinat) dan kelompok yang dikendalikan (subordinat) di sisi lain. Dua kelompok ini dalam situasi apapun selalu berhadapan dan saling bertentangan untuk memperjuangkan "kepentingan" masing-masing. Kalau kelompok superordinat fungsi konflik -- meminjam istilah Lewis Coser -- kepentingannya untuk mempertahankan status quo, sedangkan kelompok subordinat kepentingannya perubahan.

Jadi kalau menurut teori konflik modern, siapapun dan apapun bentuk kepemimpinannya selalu dibanyang-bayangi oleh makna otoritas. Sebab setuju atau tidak, makna otoritas selalu melekat pada status/posisi yang merupakan dua entitas yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Maksudnya, mereka yang menduduki posisi otoritas secara otomatis mengendalikan bawahan dan memposisikan sebagai superordinat yang berkuasa atas subordinat. Secara sosiologis, mereka yang berkuasa karena produk espektasi dari orang-orang yang di sekitar mereka, dan bukan karena karaktristik psikologis mereka sendiri, tetapi memang karena posisi lah yang menciptakan seseorang mempunyai otoritas penuh. Alhasil, karena otoritas adalah absah, maka berbagai punishment dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang. Hal ini berlaku bagi siapapun yang memposisikan sebagai pemegang otoritas atau kuasa, berikutnya hanya tergantung pada perbedaan kadar sanksi yang diberikan pada lawan posisinya.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Minggu, 27 Januari 2008

Meninggalnya Sang Jenderal Tersenyum: HM. Soeharto Presiden RI Ke 2

INNALILLAHI WA INNAILAHI ROOJI'UN. Telah berpulang ke pangkuan Ilahi, HM.Soeharto pada hari minggu tanggal 27 Januari 2008, pukul 13.10 WIB di RS.Pusat Pertamina Jakarta. Sejarah telah mencatat bahwa HM. Soeharto adalah Persiden RI ke 2 dan memimpin Indonesia selama 32 tahun, dengan berbagai dinamikanya. Sebagai manusia, Pak Harto mempunyai kelemahan dan kelebihan, dan inipun berlaku bagi semua makhluk Tuhan tanpa kecuali. Semoga selama kepemimpinan Pak Harto menjadi pelajaran yang paling berharga bagi bangsa Indonesia ke depan, tanpa harus mengedepankan subyektifitas. Tuhan lah yang lebih obyektif menilai dan menjadi hakim semua ciptaanNya.



baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Sabtu, 26 Januari 2008

Budaya Permisif dan Mesin Birokrasi

Semula birokrasi untuk mengelola secara sistemik pelayanan terhadap kepentingan masyarakat banyak, tapi lambat-laun bergeser fungsinya menjadi "mesin besar" yang menggerus berbagai kepentingan masyarakat itu sendiri. Yang tersisa hanya kepentingan aparat pemerintah atau sejenisnya demi meraup keuntungan profit individu atau kelompoknya. Dengan kata lain, motto: "Pelayanan Publik" hanya menjadi tempelan plang papan nama di beberapa instansi pemerintah. Diakui atau tidak, hal inilah yang kerapkali mewarnai proses perjalanan birokrasi institusi-institusi pelayanan publik di Indonesia.


Praktek "jalan tol" dalam birokrasi di Indonesia sudah merupakan "virus" yang merembes di berbagai instansi pemerintah, terutama yang berkaitan dengan layanan publik. Siapapun dapat pelayanan yang super cepat kalau memenuhi syarat yang tak tertulis -- atau bahasa gaulnya "angpau" (uang) -- meski syarat yang sesungguhnya masih kurang lengkap. Realitas seperti ini pada gilirannya mengkristal dan menjadi kultur di tengah-tengah masyarakat kita. Istilah TST (tau sama tau) sudah bagian dari idiom komunikasi birokrasi yang dimaklumi bersama. Ironisnya, kadangkala hal ini dikemas dengan logika take and give, dan berdasarkan deal /kesepakatan yang tak tertulis antar aparat dan masyarakat, meskipun terkesan dipaksakan.

Kultur birokrasi yang permisif inilah yang memberikan dampak tidak sehat terhadap pembentukan mental bangsa kita, mulai dari aparaturnya sampai masyarakat pada umumnya. Bangsa Indonesia tidak akan maju dan survival, kalau terus-menerus mengawetkan kultur permisif dalam dunia birokrasi.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Selasa, 22 Januari 2008

Kenapa Bahan Pokok Harus Naik?

Belakangan, rakyat Indonesia semakin terbebani dengan kenaikan bahan-bahan pokok yang melambung tinggi. Terutama rakyat kecil, semakin sulit untuk menikmati kehidupan yang layak di bumi Nusantara yang dikenal kaya dengan hasil buminya. Ironis memang, bila melihat potret yang paradoks disekitar kita, di satu sisi banyak rumah mewah dan berjubelnya kendaraan yang model keluaran baru dengan harga yang selangit, sementara di sisi lain, sebagian masyarakat kita masih ada yang makan "nasi aking" atau " nasi second ". Inilah fakta sosial yang tak terbentahkan di era kepemimpinan SBY-JK, bahwa belum adanya perubahan yang signifikan di beberapa bidang terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat.

Apa yang terjadi bila masyarakat banyak yang mengeluhkan tentang kenaikan bahan pokok yang melambung tinggi dan tak terjangkau harganya oleh mereka? Bila hal itu terjadi terus-menerus, dapat dibayangkan banyak rakyat yang sulit mendapatkan makanan yang layak dan lebih parahnya mereka melanjutkan hidupnya dengan tertatih-tatih. Sehingga yang terbersit dalam benaknya adalah krisis kepercayaan terhadap pemerintah SBY-JK dalam menangani problem fundamental rakyat. Dalam konteks ini, masyarakat pada umumnya tidak mempersoalkan dampak harga minyak dunia yang sempat menembus lebih dari 100 dolar, tapi secara riil mereka melihat ketidakadilan policy pemerintah dalam pemerataan kesejahteraan. Atau yang lebih lunak, rakyat menganggap rezim SBY-JK sudah tidak mampu lagi menjalankan roda kepemerintahannya. Oleh karena itu, boleh jadi fenomena ini akan mempengaruhi popularitas kedua pemimpin RI, apalagi berkaitan dengan kepemimpinan nasional ke depan.

Indikasi ini sudah jelas merefleksikan ketidakberdayaan pemerintah untuk meregulasi kebutuhan bahan pokok, padahal persoalan kebutuhan bahan pokok merupakan faktor fundamental yang tidak bisa dijadikan trail and error atau uji coba. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah memang harus berbading lurus antara kenaikan minyak dunia dengan bahan-bahan pokok? Dan Apakah pemerintah tidak dapat ekspansi pasar untuk menstabilkan harga-harga bahan pokok? Wallahu'alam...





baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Sabtu, 19 Januari 2008

Siapkah Indonesia berdemokrasi?: Sebuah Refleksi Proses Pilkada

Presiden Amerika Abraham Lincoln, pernah menyatakan dalam pidato kenegaraannya tentang arti negara demokrasi yang sesungguhnya, yakni “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Definisi ini menurutnya berlaku bukan hanya untuk Amerika Serikat, tetapi dapat juga diterapkan untuk semua negara-bangsa di seluruh dunia. Memang, demokrasi adalah pilihan ideologi negara yang sangat berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Tidak sedikit memunculkan pertentangan dan ketegangan tatkala negara-bangsa memberlakukan pemerintahan demokrasi. Demokrasi tidak dirancang untuk efisiensi – tapi demi pertanggungjawaban (sense of responsibility) – sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah itu. Kendatipun begitu, demokrasi bukanlah merupakan proses yang sudah selesai dan tanpa kelemahan yang berarti.

Menyimak perjalanan proses demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru, sepertinya mengalami pasang-surut yang berarti. Batu uji demokrasi yang nampak adalah ketika pemilihan kepala daerah (Pilkada) di sebagian wilayah Indonesia, dibarengi dengan pencideraan norma-norma demokrasi yang hakiki. Pesta demokrasi (Pilkada) yang seharusnya saling menghargai perbedaan, ternyata yang muncul adalah saling menghujat, kampanye hitam, bahkan lebih parahnya konflik horisontal antar pendukung calon semakin meramaikan media cetak dan elektronik. Sepertinya atmosfir toleransi semakin menjauh dari bangsa ini yang baru bangkit dari keterpurukan, dan mungkin sangat sulit untuk mencapai bangsa yang beradab (civilization), kalau realitas yang demikian itu terus-menerus mewarnai proses demokrasi.

Belakangan ini sudah menjadi pemandangan umum (melalu media), kegiatan Pilkada selalu diwarnai dengan konflik antar pendukung calon dan diiring bentrokkan fisik dengan aparat keamanan. Lebih tragisnya, eskalasi kerusuhan merebak sampai kepada masyarakat yang tidak terlibat secara langsung dalam proses pesta demokrasi tersebut. Padahal "ongkos" politik, ekonomi, sosial dan budaya sangat "mahal" untuk dijadikan taruhan dalam dalam proses Pilkada. Pemandangan seperti itu, sesungguhnya menggambarkan realitas objektif keberadaan masyarakat kita yang masih belum siap menghadirkan norma-norma demokrasi yang sejati dalam proses pemilihan kepala daerah. Masyarakat kita pada umumnya, masih memerlukan learning process yang lebih intens untuk menjadi warga-bangsa yang berkepribadian civilize ( toleran, menghargai HAM, mandiri dan taat pada aturan yang sudah disepakati bersama).

Untuk menuju ke arah itu, semestinya mulai dari sekarang Penyeleggara Negara berinisiatif untuk mendidik warganya melalui berbagai alternatif. Salah satunya, adalah pendidikan politik yang beretika semenjak usia dini, paling tidak dari jenjang menengah pertama atau setingkat SMP. Lebih jelasnya, memasukkan pendidikan politik yang beradab ke dalam kurikulum SMP sampai SMA. Sementara untuk jenjang Perguruan Tinggi , kurikulum pendidikan politik lebih menekankan aspek-aspek filosofis dan humanisme-religius yang bernuansa kearifan lokal. Meskipun demikian, yang lebih penting dari itu semua adalah komitmen semua warga-bangsa untuk selalu memperbaiki citra sebagai masyarakat berbudaya dan beragaama secara konsisten.

Nampaknya hari ini, "makhluk" demokrasi di Indonesia masih menjadi wacana an-sich, atau masih menjadi bahasa "langit" (belum membumi), sehingga -- meminjam istilah Kuntowidjoyo -- belum adanya connecting antara das sain dan das sollen. Maksudnya, dalam konteks demokrasi di Indonesia antara alam ide dengan realitas tidak seiring dan tidak saling mendukung. Dengan demikian -- untuk menuju Indonesia Baru -- seyogyanya lebih mengedepankan semangat peradaban bangsa-dunia yang unggul dan siap berkompetisi dengan negara manapun dalam berbagai hal, terutama tentang nilai-nilai universalitas peradaban manusia.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Kamis, 17 Januari 2008

Muda Vs Tua: Perspektif Kepemimpinan Nasional

Ahmad Wahib (alm.) dalam catatan harianya "Pergolakan Pemikiran Islam", mengemukakan bahwa problematika di Indonesia pada masa itu dikarenakan adanya gesekan antar generasi (gap generation). Pernyataan itu, dalam konteks kekinian menjadi perbincangan hangat dalam konstelasi kepemimpinan pasca ORBA. Setuju atau tidak, dari mulai Gus Dur sampai Soesilo Bambang Yudhoyono, belum ada perubahan yang berarti untuk mengentaskan dari berbagai masalah yang mendera bangsa ini. Untuk itu menjadi wajar, apabila sebagian besar rakyat Indonesia menghendaki pemimpin yang masih segar (fresh) dan lebih visioner sebagai "ratu adil" dalam melanjutkan estafeta kepemimpinan bangsa ke depan.

Sudah menjadi kenyataan sejarah bangsa-bangsa dunia, bahwa pergantian kepemimpinan selalu dibarengi dengan semangat merubah status-quo ke arah yang lebih maju dan tampil beda. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan kemudian, siapakah yang berhak menyandang agen perubahan itu? Apakah dari figur generasi tua atau dari generasi muda? Sebab ada perbedaan perspektif tentang kepemimpinan dari sisi usia atau generasi. Bagi yang berpandangan bahwa usia atau generasi menjadi faktor penting untuk sebuah kepemimpinan, yakni generasi muda merupakan representasi dari penyegaran ide-ide, sekaligus gabungan antara kekuatan spirit dan intelgensi. Sementara bagi yang berpandangan bahwa usia atau generasi tidak menjadi ukuran keberhasilan, adalah kepemimpinan ditentukan oleh kekuatan visi yang dibarengi oleh semangat merubah keadaan ke arah yang lebih progres (maju).

Terlepas dari dialektika di atas, ada yang lebih penting untuk dipertimbangkan sebagai wacana model pemimpin nasional Indonesia masa depan, yakni figur yang mempunyai cara pandang visioner dan selalu berpihak pada kepentingan hajat hidup orang banyak (rakyat). Dan di atas itu semuanya, pemimpin nasional harus mempunyai spiritualitas religius yang mumpuni. Sebab tanpa itu, dapat dipastikan semangat sense-responsibility akan memudar dan absurd (tanpa makna) dalam setiap menjalankan roda kepemimpinannya.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Selasa, 15 Januari 2008

Qiro'at Al Quran

Islam adalah agama yang senang dengan keindahan seperti halnya seni lantunan indah(qira'at) Al Qur'an yang dapat menyejukkan qalb sekaligus merenungkan seluruh ciptaanNya. Dengan AlQur'an manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan kuasa Allah SWT yang Maha segala-galanya.Untuk lebih lengkapnya kita dengarkan qiraatnya Syekh Abdul Basith Abdul Shamat dan anak kecil mirip suara Abdul Basith Kid (klik play vidio pada hal baca selanjutnya...)




baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Senin, 07 Januari 2008

Membangun Kesadaran Kolektif Bangsa

Berbagai peristiwa di Indonesia belakangan ini, mewarnai dinamika sosial yang banyak menyita energi seluruh komponen bangsa. Dari mulai bongkar pasang kabinet SBY-JK sampai konflik horizontal (anarkhisme) yang tak kunjung reda. Belum lagi, penyelesaian penegakkan hukum yang masih berkutat pada kasus-kasus “recehan” – belum menyentuh yang substanstif – sampai pada polemiknya antar lembaga tertinggi Negara (MA Vs KPK). Di tambah lagi, kebijaan ekonomi pemerintahan SBY-JK yang belum berpihak sepenuhnya kepada kesejahteraan rakyat kecil, sebab lagi-lagi alasannya adalah jargon “pertumbuhan” untuk menstabilkan ekonomi makro. Akibatnya, hanya segelintir orang saja (pengusaha kelas menengah sampai kakap) yang dapat survival dan menikmati “kue pembangunan” republik ini.


Lebih ironisnya, untuk sebuah negara yang berdaulat dan bahkan cenderung “over” demokrasi seperti Indonesia, masih terdapat warga negara yang tidak aman dan merasa terancam hidupnya. Terlepas, karena mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan mainstream masyarakat pada umumnya (kasus aliran-aliran “sesat”). Tetapi yang paling penting adalah, bagaimana peran negara untuk melindungi dan mengayomi seluruh warga negaranya berdasarkan mekanisme penegakkan hukum yang berlaku. Negara melalui perangkatnya lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif semestinya lebih menekankan pada konsistensi law enforcement untuk memberikan kesan pada dunia internasional sebagai sebuah negara yang berdaulat dan berperadaban.

Selain itu pula, masih ada beberapa kasus lain yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, ternyata radiasi kebebasannya menyentuh wilayah kebebasan orang atau kelompok lain. Hal inilah yang menyebabkan gesekan antar warga masyarakat yang pada gilirannya terjadinya konflik horizontal yang tidak mudah untuk diselesaikan. Sebagian masyarakat memaknai kebebasan adalah ekspresi tanpa batas, mungkin lebih ekstremnya free-value (bebas nilai). Sementara secara hakiki, tidak mungkin makna kebebasan itu sendiri menciderai harkat kemanusian universal. Oleh karenanya, diperlukan learning-process yang lebih koprehensif kepada masyarakat tentang makna kebebasan yang sejati, melalui pendidikan sosial-politik yang mencerdaskan.

Bersamaan dengan itu, masalah patologi sosial semakin sulit dihilangkan karena lemahnya penegakkan hukum di republik ini. Semisal kasus narkoba, justru secara kuantitatif dan kualitatif meningkat. Bahkan uniknya, tempat tahanan (LP: Lembaga Pemasyarakatan) menjadi basis pengedaran yang paling produktif, padahal LP semestinya menjadi lembaga yang steril dari berbagai “penyakit” masyarakat dan sekaligus membuat efek jera pada para pelakunya. Realitas yang demikian ini semakin menambah rumitnya proses penegakkan hukum yang berkeadilan dan berperadaban.

Belum lagi penanganan masalah bencana alam (banjir, tanah longsor dsb.) yang sebagian besar disebabkan pengrusakan lingkungan oleh manusia, mulai dari pembalakan liar (illegal logging) sampai pada pembuangan sampah yang tidak tertib. Bersamaan dengan itu pula, dampak yang paling membahayakan bagi kehidupan manusia karena kerusakan lingkungan adalah (global-warming) atau pemanasan global yang dapat merubah drastis ekosistem kehidupan manusia. Antisipasi pemerintah dalam hal ini, belum maksimal dan tegas dalam menindak para pelaku pengrusakan lingkungan dengan sanksi hukum yang sangat berat, sebab menurut hemat penulis, kasus ini sama beratnya dengan terorisme. Paling tidak, aspek kesamaannya adalah menghancurkan lingkungan (ekosistem) dan masa depan manusia secara keseluruhan.

Untuk itu, kepada seluruh penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) --dalam rangka membenahi masalah kebangsaan yang sangat kompleks – seyogyanya memberikan keteladanan dan sekaligus mengajak seluruh komponen bangsa untuk membangun republik ini. Sudah waktunya bagi para penyelenggara negara itu menyadari, bahwa berlarutnya masalah yang multi-kompleks, dikarenakan “keterbatasan” political will mereka untuk mengelola negara dengan baik dan sungguh-sungguh. Dengan demikian, sarat utama untuk membangun negara yang berkeadaban dan berprikemanusian adalah membentuk kesadaran kolektif yang berpijak pada semangat humanisme-religius. Sehingga pada gilirannya, hal itu akan menjadi energi positif yang dapat memotivasi mereka untuk selalu berfikir dan berkarya demi hajat hidup orang banyak (rakyat).



baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

blogger templates | Make Money Online