Image and video hosting by TinyPic

Sabtu, 15 September 2007

Sosiologi Indonesia: haruskah lebih sosiologis?

Carut marutnya bangsa Indonesia dari berbagai problematikanya diperlukan gagasan-gagasan orisil yang justru problem solvingnya dari perspektif sosiologis. Sebab, di mata indonesianis, bangsa ini tidak mudah di selesaikan dengan sekedar jargon politik semata. Tetapi, diperlukan kerja sosial yang berbasis sosial-budaya yang sangat heterogen. Dapat dibayangkan, semisal penyelesaian separatisme diberbagai daerah hanya diproduk dari "meja Jakarta" yang notabene central elite kekuasaan yang --meminjam istilah trennya -- " tebar pesona an-sich".

Untuk itu, sudah waktunya piranti produk budaya yang plural itu dicarikan formulanya yang melibatkan para expert diberbagai bidang. Mulai "hulu" (penguasa) sampai "hilir" (rakyat) dimanapun berada membuka ruang publik komunikasi sosial untuk meretas sekat-sekat psikologis yang sudah lama mengkristal. Dengan demikian, fungsi peran -peran social -control seperti yang dikemukakan Paul B.Horton dan C.L.Hunt (1993:176), pengendalian sosial (social control) adalah, untuk menggambarkan segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat.

Mungkin sampai hari ini, upaya menyelesaian masalah di berbagai bidang belum menunjukkan angka statistik yang signifikan -- untuk tidak menyebut absurd . Pembenahan yang dilakukan pemerintahan mulai pasca ORBA, tidak nampak signifikan, bahkan cenderung menurun. Pernyataan ekstrimya, pemerintahan sekarang "tidak lebih baik dari rezim ORBA". Mulai dari jumlah angka pengangguran yang meningkat, instabilitas ekonomi yang naik-turun tajam, penegakkan hukum (law enforcemen) yang masih terkesan "tebang pilih" dan konflik di berbagai daerah tidak kunjung surut. Pernyataan yang terakhir itu, penulis sependapat bahwa salah satu keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), adalah penyelesaian konflik di Daerah Istimewa Aceh. Tapi Indonesia bukan hanya Aceh, masih banyak daerah yang perlu penanganannya yang hampir mirip dengan Aceh, yakni proses nation building yang dibarengi pemerataan dan keadilan yang balance dan transparan di berbagai wilayah, meskipun tetap proporsional.

Mengutip yang diungkapkan Paul Horton dan C.L.Hunt di atas, setidaknya pemerintahan SBY hari ini dan pemerintahan yang akan datang, semestinya dapat menjadi pengendali sosial yang sesuai dengan harapan berbagai elemen bangsa, kalau menghendaki adanya social order (ketertiban sosial). Di akui atau tidak, keterlambatan proses nation building di Indonesia, salah satunya tidak adanya komitmen bersama di berbagai kalangan elemen bangsa itu. Sehingga tidak sedikit program yang digelindingkan oleh pemerintah tidak mendapat respon dan apresiasi dari sebagian kalangan. Boleh jadi yang tidak mendukungnya minoritas, tetapi dalam konteks berbangsa dan bernegara, hal itu dapat menjadi "batu sandung" atau "batu kerikil" yang menyelip di sepatu. Memang proses penyelarasan main-stream ke berbagai kalangan tidak semudah membalik tangan, tapi itulah uji kalayakan seorang pemimpin atau negarawan yang mumpuni. Untuk itu, penulis dengan sedikit analisis sosiologis yang minimalis berupaya mengajak para sosiolog mendialogkan masalah bangsa ini menuju bangsa besar yang beradab dan bermartabat.

1 komentar:

Puguh Utomo mengatakan...

Namun, agaknya masih tak banyak ide-ide sosiologis di negeri ini. Mahasiswa sosiologi sendiri menghadapi masalahnya sendiri, misalnya sulit menjadi guru sosiologi, seperti yg sama alami.

blogger templates | Make Money Online