Sang teoritis konflik modern Ralf Dahrendorf (1958), menyatakan munculnya konflik sosial sistematis di semua asosiasi disebabkan terjadi perbedaan pendistribusian otoritas. Arti kata, otoritas atau kekuasaan lah selama ini yang menjadikan penentu utama konflik individu atau kelompok yang belakangan ini marak diberbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Belajar dari proses perjalanan kepemimpinan Soeharto (rezim ORBA), banyak yang dapat dipetik untuk dijadikan proses pembelajaran yang berharga bagi warga-bangsa Indonesia. Paling menarik untuk direview adalah model distribusi otoritas yang dilakukan rezim ORBA, yaitu perpaduan yang tidak seimbang antara model fungsionalisme (keseimbangan) dengan konflik -- meski tidak disadarinya. Dalam perspektif Dahrendorf, yang dilakukan rezim ORBA atau rezim siapapun merupakan perwujudan yang mesti terjadi. Sebab, dalihnya bahwa otoritas dalam setiap asosiasi selalu bersifat dikotomi, yaitu satu sisi kelompok yang memegang posisi otoritas (superordinat) dan kelompok yang dikendalikan (subordinat) di sisi lain. Dua kelompok ini dalam situasi apapun selalu berhadapan dan saling bertentangan untuk memperjuangkan "kepentingan" masing-masing. Kalau kelompok superordinat fungsi konflik -- meminjam istilah Lewis Coser -- kepentingannya untuk mempertahankan status quo, sedangkan kelompok subordinat kepentingannya perubahan.
Jadi kalau menurut teori konflik modern, siapapun dan apapun bentuk kepemimpinannya selalu dibanyang-bayangi oleh makna otoritas. Sebab setuju atau tidak, makna otoritas selalu melekat pada status/posisi yang merupakan dua entitas yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Maksudnya, mereka yang menduduki posisi otoritas secara otomatis mengendalikan bawahan dan memposisikan sebagai superordinat yang berkuasa atas subordinat. Secara sosiologis, mereka yang berkuasa karena produk espektasi dari orang-orang yang di sekitar mereka, dan bukan karena karaktristik psikologis mereka sendiri, tetapi memang karena posisi lah yang menciptakan seseorang mempunyai otoritas penuh. Alhasil, karena otoritas adalah absah, maka berbagai punishment dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang. Hal ini berlaku bagi siapapun yang memposisikan sebagai pemegang otoritas atau kuasa, berikutnya hanya tergantung pada perbedaan kadar sanksi yang diberikan pada lawan posisinya.
0 komentar:
Posting Komentar