Perbedaan cara pandang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan sebagian anggota DPR RI tentang interpelasi BLBI, menjadi polemik yang menghangatkan atmosfir perpolitikan republik ini. Hampir semua orang tertuju pada polemik itu, meski sebagian warga masih ada yang larut atas meninggalnya Pak Harto (mantan Presiden RI ke 2) dengan berbagai beban hukumnya. Ternyata idiom interlepelasi bukan moment yang dianggap wajar dan lumrah dalam wacana demokrasi di negeri ini. Padahal di negara-negara yang menganut demokrasi, interpelasi sudah menjadi "sarapan" sehari-hari mereka. Apalagi dalam sistem demokrasi, interpelasi merupakan proses dialogis yang produktif antar eksekutif dan legislatif untuk mencari solusi yang terbaik bagi bangsa.
Dalam kasus ini, alih-alih ada komunikasi politik yang sehat antara Presiden SBY dan DPR RI, malahan keduanya saling adu argumentasi dengan berbagai retorika yang sulit dipahami oleh rakyat banyak. Lebih ironisnya lagi, permasalahan yang dijadikan polemik adalah sesuatu yang bersifat "teknis" dan tidak menyentuh substansi materi interpelasi BLBI. Sepertinya, satu sama lain sudah merasa perpegang pada mekanisme yang berlaku dan mengaku mempunyai otoritas truth klaim yang populis. Alhasil, kedua penyelenggara negara ini sulit ketemu dan dalam titik sumbu yang berbeda untuk hal yang tidak signifikan, sehingga gilirannya yang terjadi adalah sekedar "dramatisasi" dialogis yang absurd (nihil).
Bagi Presiden SBY, kehadiran di Sanayan (Gedung DPR RI) bukan keharusan dalam penyampaikan hak jawabnya kepada para wakil rakyat itu, sebab menurutnya cukup diwakilkan oleh para menterinya sebagai pembantu Presiden. Sementara sebagaian anggota DPR RI, beranggapan Presiden berkewajiban hadir untuk menyampaikan hak jawabnya tentang kasus BLBI dengan alasan keseriusan Presiden dalam menyelesaikan BLBI ditentukan oleh kehadirannya. Kedua alasan yang paradoks itu sebetulnya mencerminkan sikap ketidakdewasaan (childness) yang dipertontonkan kepada seluruh rakyat yang hari ini mereka didera berbagai kesulitan hidup. Terlepas dari reasoning yang mereka (Presiden dan DPR RI) kemukakan berdasarkan mekanisme dan aturan, tetapi ada fatsun politik yang mereka abaikan, yaitu kecerdasan emosional dalam berpolitik. Kecerdasan emosional inilah yang menjadi standar tingkat kedewasaan seseorang dalam menyelesaikan berbagai masalah, apalagi masalah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Menilik kasus interpelasi BLBI ini, sepertinya merefleksikan kepribadian dari para penyelenggara negara yang ternyata lebih banyak menonjolkan kepentingan politik jangka pendek ketimbang politik "Adi Luhung" atau "High Political". Hari ini, sebagian besar rakyat Indonesia sudah letih dan kehabisan energi untuk terus-menerus menyaksikan akrobat para penyelenggara negara tanpa menuai hasil yang berarti bagi semua warga negara. Dan yang paling menggembirakan lagi, rakyat sudah "melek" politik untuk melihat, mengawasi dan sekaligus mengevaluasi para manuver politik atau hidden agenda para pemimpinnya. Dengan begitu, lebih pantas kalau konteks ini meminjam judul lagu Brury Pesolima, "Jangan Ada Dusta di Antara Kita".
Menilik kasus interpelasi BLBI ini, sepertinya merefleksikan kepribadian dari para penyelenggara negara yang ternyata lebih banyak menonjolkan kepentingan politik jangka pendek ketimbang politik "Adi Luhung" atau "High Political". Hari ini, sebagian besar rakyat Indonesia sudah letih dan kehabisan energi untuk terus-menerus menyaksikan akrobat para penyelenggara negara tanpa menuai hasil yang berarti bagi semua warga negara. Dan yang paling menggembirakan lagi, rakyat sudah "melek" politik untuk melihat, mengawasi dan sekaligus mengevaluasi para manuver politik atau hidden agenda para pemimpinnya. Dengan begitu, lebih pantas kalau konteks ini meminjam judul lagu Brury Pesolima, "Jangan Ada Dusta di Antara Kita".
0 komentar:
Posting Komentar