Ahmad Wahib (alm.) dalam catatan harianya "Pergolakan Pemikiran Islam", mengemukakan bahwa problematika di Indonesia pada masa itu dikarenakan adanya gesekan antar generasi (gap generation). Pernyataan itu, dalam konteks kekinian menjadi perbincangan hangat dalam konstelasi kepemimpinan pasca ORBA. Setuju atau tidak, dari mulai Gus Dur sampai Soesilo Bambang Yudhoyono, belum ada perubahan yang berarti untuk mengentaskan dari berbagai masalah yang mendera bangsa ini. Untuk itu menjadi wajar, apabila sebagian besar rakyat Indonesia menghendaki pemimpin yang masih segar (fresh) dan lebih visioner sebagai "ratu adil" dalam melanjutkan estafeta kepemimpinan bangsa ke depan.
Sudah menjadi kenyataan sejarah bangsa-bangsa dunia, bahwa pergantian kepemimpinan selalu dibarengi dengan semangat merubah status-quo ke arah yang lebih maju dan tampil beda. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan kemudian, siapakah yang berhak menyandang agen perubahan itu? Apakah dari figur generasi tua atau dari generasi muda? Sebab ada perbedaan perspektif tentang kepemimpinan dari sisi usia atau generasi. Bagi yang berpandangan bahwa usia atau generasi menjadi faktor penting untuk sebuah kepemimpinan, yakni generasi muda merupakan representasi dari penyegaran ide-ide, sekaligus gabungan antara kekuatan spirit dan intelgensi. Sementara bagi yang berpandangan bahwa usia atau generasi tidak menjadi ukuran keberhasilan, adalah kepemimpinan ditentukan oleh kekuatan visi yang dibarengi oleh semangat merubah keadaan ke arah yang lebih progres (maju).
Terlepas dari dialektika di atas, ada yang lebih penting untuk dipertimbangkan sebagai wacana model pemimpin nasional Indonesia masa depan, yakni figur yang mempunyai cara pandang visioner dan selalu berpihak pada kepentingan hajat hidup orang banyak (rakyat). Dan di atas itu semuanya, pemimpin nasional harus mempunyai spiritualitas religius yang mumpuni. Sebab tanpa itu, dapat dipastikan semangat sense-responsibility akan memudar dan absurd (tanpa makna) dalam setiap menjalankan roda kepemimpinannya.
1 komentar:
Pemimpin seperti apa? Semoga artikel ini bermanfaat……
Kepemimpinan Yang Jazzy : Sebuah Metafora
Kepemimpinan yang bertumpu pada daya kreasi rakyat atau bahkan kepemimpinan sebagai sebuah kolektif kesadaran rakyat untuk menggerakan perubahan
Berbeda dengan musik klasik, ada dirigen, partitur, pemain musik yang tertib di tempatnya masing, segudang pakem-pakem musik klasik, maka didalam musik jazz kebebasan, kreatifitas, keliaran, kejutan merupakan nafas dan jiwa musiknya. Ada saxophone, flute, drum, perkusi, bass gitar, piano yang masing-masing berdaulat penuh.
Disatu sisi ada keliaran, tapi segala keliaran tetapmenghasilkan harmoni yang asyik. Kebebasan dan keliaran tiap musisi, patuh pada satu kesepakatan, saling menghargai kebebasan dan keliaran masing-masingmusisi sekaligus menemukan harmoni dan mencapai tujuannya, yakni kepuasan diri musisinya dan kepuasan pendengarnya.
Jadi selain kebebasan juga ada semangat saling memberi ruang dan kebebasan, saling memberi kesempatan tiap musisi mengembangkan keliarannya (improvisasi) meraih performance terbaik. Keinginan saling mendukung, berdialog, bercumbu bukan saling mendominasi, memarginalisasikan dan mengabaikan.
Seringkali saat bermusik ada momen-momen ketika seorang musisi diberikan kesempatan untuk tampilkedepan untuk menampilkan performance sehebat-hebatnya, sedangkan musisi lain agakmenurunkan tensi permainannya.
Tapi anda tentunya tau gitar tetap gitar, tambur tetap tambur, piano tetap piano. Namun demikian dialog antar musisi dilakukan juga dengan cara musisi piano memainkan cengkok saxophone, musisi perkusi memainkan cengkok bass betot. OHOOOOOOOOO guyub dan elok nian.
Lepas dari jiwa musik jazz yang saya sampaikansebelumnya tetap saja ada juga yang 'memimpin', pusatgagasan dan inspirasi tentunya dengan kerelaan memberi tempat kepemimpinan dari semua musisi. Bisa dalam bentuk beberapa person/lembaga maupun kolektifitas.
Misalnya dalam grup Chakakan bahwa vocalisnya Chahakan adalah inspirator utama grup ini. Apa yang menarikdari vokalis Chahakan ini adalah dia yang menjadi inspirator, penulis lagu dan partitur dasar musiknya,selain itu improvisasi, keliaran dan kekuatan vokalnya menebarkan energi , menyetrum dan meledakkan potensi musisi pendukungnya.
Model kepemimpinannya bukan seperti dirigen dalam musik klasik yang menjaga kepatuhan dan disiplin tanpa reserve, tetapi lebih menjadi penjaga semangat (nilai-nilai, atau bahkan cita-cita kolektif), memberiruang bagi setiap musisi untuk pengayaan gagasan danproses yang dinamis. Baik ketika mematerialkan gagasan maupun ketika berproses di panggung atau di studio rekaman. Tidak memaksakan pola yang baku dan beku, tetapi sangat dinamis dan fleksibel.
Setiap penampilan mereka di panggung adalah penemuan cengkok-cengkok baru, nyaris sebenarnya setiap performance selalu baru. Tidak ada penampilan yang persis sama. Tetapi tetap mereka dipandu tujuan yang sama memuaskan kebutuhan masing-masing musisi dan pendengarnya,menggerakan dan merubah.
Yang menarik juga dari jazz ini adalah sifatnya yangterbuka, open mind, open heart. Waljinah, master penyanyi keroncong dengan lagu walang kekeknya, ataulagu bengawan solonya gesang, atau darah juang lagu perlawanan itu, ravi shankar dengan sitar, rebab dan spirit indianya, atau bahkan internasionale dan maju tak gentar, atau imaginenya john lennon, atau reportoar klasik bach, bahkan dangdut pun, bahkan lagu-lagu spiritual bisa diakomodir oleh musisi jazz dan jadi jazzy.
Itulah karakter kepemimpinan yang asyik, kepemimpinan yang berkarakter kepemimpinan spiritual, menjaga dan menyalakan spirit/semangat/ nilai-nilai/ garis perjuangan, menyeimbangkan dan mencapai harmoni musik.
Selain itu kepemimpinan ini harus bisa fleksibel dalam pengayaan pilihan-pilihan pendekatan, bisa menawarkannuansa keroncong, dangdut, gending, samba, regge,rock, gambus, pop, klasik dalam bermusik jazz. Ataumemberi peluang atau kesempatan satu musisi atau alat musik leading, maju kedepan dan yang lainnyamemperkaya di latar belakang. Lepas dari itu bukan berarti saya lebih mencintai jazz, dibanding klasik, new age atau dangdut, tetapiini lebih kepada menemukan analogi dan metafora.
Salam hangat
Posting Komentar