Berbagai peristiwa di Indonesia belakangan ini, mewarnai dinamika sosial yang banyak menyita energi seluruh komponen bangsa. Dari mulai bongkar pasang kabinet SBY-JK sampai konflik horizontal (anarkhisme) yang tak kunjung reda. Belum lagi, penyelesaian penegakkan hukum yang masih berkutat pada kasus-kasus “recehan” – belum menyentuh yang substanstif – sampai pada polemiknya antar lembaga tertinggi Negara (MA Vs KPK). Di tambah lagi, kebijaan ekonomi pemerintahan SBY-JK yang belum berpihak sepenuhnya kepada kesejahteraan rakyat kecil, sebab lagi-lagi alasannya adalah jargon “pertumbuhan” untuk menstabilkan ekonomi makro. Akibatnya, hanya segelintir orang saja (pengusaha kelas menengah sampai kakap) yang dapat survival dan menikmati “kue pembangunan” republik ini.
Lebih ironisnya, untuk sebuah negara yang berdaulat dan bahkan cenderung “over” demokrasi seperti Indonesia, masih terdapat warga negara yang tidak aman dan merasa terancam hidupnya. Terlepas, karena mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan mainstream masyarakat pada umumnya (kasus aliran-aliran “sesat”). Tetapi yang paling penting adalah, bagaimana peran negara untuk melindungi dan mengayomi seluruh warga negaranya berdasarkan mekanisme penegakkan hukum yang berlaku. Negara melalui perangkatnya lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif semestinya lebih menekankan pada konsistensi law enforcement untuk memberikan kesan pada dunia internasional sebagai sebuah negara yang berdaulat dan berperadaban.
Selain itu pula, masih ada beberapa kasus lain yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, ternyata radiasi kebebasannya menyentuh wilayah kebebasan orang atau kelompok lain. Hal inilah yang menyebabkan gesekan antar warga masyarakat yang pada gilirannya terjadinya konflik horizontal yang tidak mudah untuk diselesaikan. Sebagian masyarakat memaknai kebebasan adalah ekspresi tanpa batas, mungkin lebih ekstremnya free-value (bebas nilai). Sementara secara hakiki, tidak mungkin makna kebebasan itu sendiri menciderai harkat kemanusian universal. Oleh karenanya, diperlukan learning-process yang lebih koprehensif kepada masyarakat tentang makna kebebasan yang sejati, melalui pendidikan sosial-politik yang mencerdaskan.
Bersamaan dengan itu, masalah patologi sosial semakin sulit dihilangkan karena lemahnya penegakkan hukum di republik ini. Semisal kasus narkoba, justru secara kuantitatif dan kualitatif meningkat. Bahkan uniknya, tempat tahanan (LP: Lembaga Pemasyarakatan) menjadi basis pengedaran yang paling produktif, padahal LP semestinya menjadi lembaga yang steril dari berbagai “penyakit” masyarakat dan sekaligus membuat efek jera pada para pelakunya. Realitas yang demikian ini semakin menambah rumitnya proses penegakkan hukum yang berkeadilan dan berperadaban.
Belum lagi penanganan masalah bencana alam (banjir, tanah longsor dsb.) yang sebagian besar disebabkan pengrusakan lingkungan oleh manusia, mulai dari pembalakan liar (illegal logging) sampai pada pembuangan sampah yang tidak tertib. Bersamaan dengan itu pula, dampak yang paling membahayakan bagi kehidupan manusia karena kerusakan lingkungan adalah (global-warming) atau pemanasan global yang dapat merubah drastis ekosistem kehidupan manusia. Antisipasi pemerintah dalam hal ini, belum maksimal dan tegas dalam menindak para pelaku pengrusakan lingkungan dengan sanksi hukum yang sangat berat, sebab menurut hemat penulis, kasus ini sama beratnya dengan terorisme. Paling tidak, aspek kesamaannya adalah menghancurkan lingkungan (ekosistem) dan masa depan manusia secara keseluruhan.
Untuk itu, kepada seluruh penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) --dalam rangka membenahi masalah kebangsaan yang sangat kompleks – seyogyanya memberikan keteladanan dan sekaligus mengajak seluruh komponen bangsa untuk membangun republik ini. Sudah waktunya bagi para penyelenggara negara itu menyadari, bahwa berlarutnya masalah yang multi-kompleks, dikarenakan “keterbatasan” political will mereka untuk mengelola negara dengan baik dan sungguh-sungguh. Dengan demikian, sarat utama untuk membangun negara yang berkeadaban dan berprikemanusian adalah membentuk kesadaran kolektif yang berpijak pada semangat humanisme-religius. Sehingga pada gilirannya, hal itu akan menjadi energi positif yang dapat memotivasi mereka untuk selalu berfikir dan berkarya demi hajat hidup orang banyak (rakyat).
Senin, 07 Januari 2008
Membangun Kesadaran Kolektif Bangsa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar