Image and video hosting by TinyPic

Kamis, 15 Mei 2008

Kursi Presiden=Kursi Panas

Menjelang pemilihan kepala Negara (Presiden) tahun 2009, bangsa Indonesia dengan segenap komponennya sudah banyak melakukan berbagai persiapan. Mulai dari perangkat undang-undangnya, mekanisme pemilihan, hingga yang berkaitan dengan anggaran biayanya. Langkah-langkah semua itu dalam rangka mempersiapkan puncaknya pesta demokrasi pasca proses Pilkada di sebagian wilayah Indonesia. Meskipun dalam tataran realita, masih banyak yang harus ditinjau ulang tentang pesta demokrasi yang dilaksanakan di daerah-daerah tertentu. Hal ini merupakan perwujudan dari proses pembelajaran berdemokrasi bagi seluruh bangsa Indonesia setelah runtuhnya rezim Orde Baru -- yang sempat mengalami “mati suri”.



Dalam perjalanan berikutnya, demokrasi di Indonesia mengalami pasang-surut yang berarti. Dampak yang ditimbulkan oleh uji coba demokrasi murni tidak jarang memunculkan sikap-sikap intoleransi, karena atas nama perjuangan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan. Tak pelak lagi, ujung-ujungnya seringkali menimbulkan gesekan atau konflik horizontal yang berlarut-larut sekaligus sulit untuk dicarikan solusinya. Diakui atau tidak, demokrasi adalah pilihan sistem kenegaraan yang sangat berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Tapi sejauh ini hanya sistem demokrasi yang dapat diandalkan accountability –nya ketimbang sistem yang lainnya.

Sekali lagi berkaitan dengan Pilpres yang akan datang di Indonesia, nampaknya perangkat lunak demokrasi sudah dipersiapkan sedemikan rupa meskipun masih perlu diperbaiki di sana-sini. Namun persoalan yang muncul berikutnya, adalah apakah demokrasi yang sedang ditegakkan di bumi pertiwi ini berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya? Ataukah dengan proses demokrasi ala Indonesia ini semakin membawa ke arah yang lebih baik ataukah justru sebaliknya?

Kedua pertanyaan di atas sebetulnya hanya dapat dijawab oleh segenap warga-bangsa yang merasa mempunyai kepedulian yang konprehensip tentang nasib bangsa ke depan. Tanpa kepedulian dan empati tentang nasib seluruh persoalan-persoalan kebangsaan, mungkin sulit diharapkan akan dapat bangkit dari “mati suri” nya bangsa ini.

Siapapun dan dari golongan manapun pimpinan nasional (Presiden) yang akan datang, pada umumnya rakyat tidak akan mempersoalkan sejauh prilakunya menyentuh aspek-aspek substantive-populis. Bagi rakyat, Presiden di masa depan adalah figure yang mempunyai “imajinasi” kerakyatan, atau yang selalu berempati dengan problem-problem rakyat banyak. Mulai dari aspek kesejahteraan, pendidikan, keamanan, partisipasi politik dan perlakuan hukum yang adil dan lain sebagainya. Itu semua yang diidam-idamkan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang latar belakang calon pimpinan nasional di masa depan.

Sebetulnya, hari ini para penyelenggara Negara belum – untuk tidak menyebutkan sama sekali – memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesejahteraan dan rasa keadilan pada seluruh rakyat. Hari ini pula, rakyat keseluruhan sudah hampir kehilangan kepercayaan kapada seluruh pemimpin di semua lapisan. Mulai dari pemimpin partai politik, birokrasi dan para pejabat publik. Krisis kepercayaan ini pada gilirannya pada pejabat tinggi Negara tidak terkecuali Presiden dan Wakilnya.

Untuk itu, ke depan kursi RI 1 (Presiden) di Indonesia bukanlah sebuah anugerah atau “kursi empuk” bagi siapapun. Tapi, merupakan “kursi panas” yang mempunyai konsekuensi logis terhadap nasib seluruh warga-bangsanya. Setuju atau tidak, kepemimpinan selalu berjalan beriringan dengan hukum alam (natural selection). Jadi artinya, apabila seorang pemimpin yang tidak dapat memenuhi kriteria integritas-universal, maka dengan sedirinya akan tergusur atau terpelanting dari posisi kepemimpinannya alias akan di-lengser-kan atau ter-lengser-kan.


0 komentar:

blogger templates | Make Money Online