Image and video hosting by TinyPic

Sabtu, 08 Maret 2008

Saya Dan Andrea Hirata

Mutakhir saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya jatuh cinta pada tulisan sastra. Biasanya saya membaca judulnya saja karya-karya sastra, apa itu novel, cerita pendek dan sejenisnya sama sekali kurang minat. Malahan males-malesan untuk sekedar meliriknya saja. Kalau melihat kawan-kawan saya yang berminat, bahkan yang fanatik banget sama karya-karya sastra, saya berfikir, apa sih asyiknya baca buku-buku itu, kok sepertinya buku-buku itu menghipnotis mereka. Mungkin ekstrimnya, buku-buku itu lebih enak dan lezatnya melebihi makanan cepat saji seperti Mc Donald, KFC, CFC, atau makanan khas sunda dengan sambel dan lalapannya. Pokoknya, sulit diterima akal sehat saya.

Pernah di masa SLTA sampai awal masuk kuliah, saya diberi anugerah minat baca komik "Kho Ping Ho",yang berjilid-jilid, mungkin seingat saya puluhan jilid dalam satu judul. Alhasil, komik-komik itu saya lalap sampai-sampai lupa jam makan (sebetulnya saya tidak pernah mengenal jam makan, sebab tergantung punya uang atau tidak). Seingat saya, pernah bolos kuliah, karena tuntaskan komik Kho Ping Ho yang berjudul "Pendekar Seruling Emas". Pada saat itu, saya tidak merasa menyesal karena tidak masuk kuliah gara-gara penasaran ingin tuntaskan cerita yang menurut saya saat itu sangat asyik dan nikmat.Tapi, sesuai dengan berjalannya waktu -- saya mulai setengah serius kuliah dan menfokuskan pada mata kuliah sosiologi -- minat saya menurun dengan buku-buku bacaan yang berkaitan dengan sastra, apa saja judul dan pengarangnya.


Saya transisi, bukan benci dan bukan seneng, bukan celaan dan bukan apresiatif, tidak dekat dan tidak jauh -- lebih tepat tidak punya definisi yang pas untuk memotret karya sastra. Mungkin saya sudah melepaskan stereotype yang dulu yang pernah bersenyawa dengan jiwa saya. Boleh jadi, para penggiat sastra menganggap orang yang tidak tersentuh dengan karya sastra seperti rumput kering di pada ilalang yang sewaktu-waktu mudah terbakar. Memang, pernah saya seperti rumput kering yang gampang terbakar, mudah tersentak, reaksioner dan dahi mudah "kerung" (Bhs.Sunda yang artinya ditengah-tengah antara dua mata melipat menyerupai angka 11), kata teman, kalau dahi kerung terus-menerus akan terjadi akselerasi usia "kokolot begog" (Bhs. Sunda: artinya,tua sebelum waktunya).


Langsung saja, waktu itu saya tak sengaja nonton acara Kick Andy di Metro TV, yang tanpa tendensius membiarkan terus channel TV itu meliput Andy F Noya sebagai presenter yang mewancarai seseorang berambut gondrong. Kebetulan remote control TV saya pegang (biasanya sama anak saya yang nomor 2),dan saya suka dengan gaya zig-zag kalau ekplorasi acara TV -- mencari acara yang sesuai dengan hasrat personal dan komunal. Yang terakhir ini berdasarkan reques dari publik family di sekitar saya.


Sekali lagi, lemat-lemat sambil jari-jari jempol siap memindahkan channel -- saya mendengarkan dialog Andy dengan laki-laki rambut gondrong usia setengah baya itu, membahas tentang karya tulis best seller yang sebagian besar bersumber dari realitas hidupnya sang penulis. Tadinya saya tidak berminat melihat tayangan itu, sebab performance laki-laki gondrong itu bukan seperi cendekiawan, ilmuwan terkenal, budayawan, sang maestro, ustadz kondang,atau kalangan selebritis yang lagi ngetren.Tapi sejenak, saya dibikin tercegang setengah bengong, laki-laki itu menceritakan karya tulisnya didasarkan realitas hidupnya yang amat sangat inspiratif dan fantastis.

Antara percaya dan tidak, selang beberapa menit kemudian, Andy presenter memanggil saksi hidup untuk mengkonfirmasi validitas presentasi laki-laki gondrong setengah galing itu. Dari situlah saya mulai serius -- sambil sila di depan TV -- menyaksikan dramatisasi antara penulis dan saksi hidup yang sudah lama tidak berjumpa. Ternyata, sang penulis yang baru saya kenal dari TV itu bernama Andrea Hirata dan saksi hidupnya Ibu Muslimah – Ibu guru Andreas semasa di SD Muhammadiyah Belitong.

Tayangan itu, sekelebatan seperti aroma bunga melati di depan rumah yang baru mengeluarkan wewangiannya ketika di malam hari. Saya mulai merasakan ada sesuatu yang mempengaruhi aspek afeksi dengan sedikit melupakan aspek kognisi saya. Meskipun pada hari ke tiga setelah melihat acara TV yang memukau itu, saya mulai akrab lagi dengan dunia yang selama ini saya geluti yaitu produk August Comte – konon Bidannya Sosiologi. Seperti biasanya saya hanyut lagi di samudra yang selalu haru-biru dengan segala yang serba empirik.

Lagi-lagi saya belum begitu tertarik dengan bacaan-bacaan sastra, hanya saja ketika ada salah satu teman yang mengebu-ngebu mengapresiasi karya Andreas Hirata yang berjudul “Laskar Pelangi”, saya jadi penasaran, apa sih bagusnya?!. Sesampai di rumah, anak saya yang pertama kelas 1 MTs (setingkat SMP), menceritakan tentang pertemuannya dia dengan Andreas Hirata yang kebetulan diundang ke sekolahnya dan membagi-bagikan karya novelnya yang sama pada beberapa murid yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Meskipun anak saya tidak kebagian gratis, tapi dia sempat meminjam dari temannya untuk dibaca, dan ternyata dia juga terkena “magnet” karya sang penulis cerdas itu. Semakin menambah kepenasaran, secepat kilat saya pun mencari buku-buku karya Andreas Hirata ke beberapa toko buku. Alhamdulillah saya temukan paling tidak yang bisa saya beli yaitu Novel Tetralogi “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi”. Dan masih ada dua karya novelnya yang belum sempat saya beli yaitu Edensor” dan “Maryamah Karpov “.

Dari situ, saya mulai menikmati karya sastra yang menurut saya sangat luar biasa. Sebab terlepas setuju atau tidak, menurut saya sebuah karya sastra dianggap exellences kalau dapat menggugah emosi afeksi di bawah alam sadar. Artinya, tatkala seseorang membaca sebuah karya sastra yang dianggap representatif, secara otomatis si pembaca akan merasa terlibat di dalamnya sekaligus memicu hormon adrenalin untuk melakukan sesuatu. Paling tidak, karya itu pada gilirannya mempengaruhi pola prilaku para pembaca, minimal semakin memotivasi untuk selalu eksplorasi setiap jengkal dari karya-karya sastra yang lain.

Untuk tidak terlalu “mengkultuskan” -- saya berusaha untuk menetralisir dengan bacaan-bacaan yang bernafaskan positivistik -- ketika saya dalam proses memahami jalan pikiran Andreas. Alih-alih sebagai balancing, ternyata saya menikmati betul apa yang dia tulis kata demi kata, kalimat demi kalimat, yang kadangkala masih juga perlu penjelasan dari glosary nya.

“Wow Luar biasa karya ini !?”, gerutu saya. Sampai-sampai (maaf bang Andrea), sambil ke kamar mandi pun saya baca novel-novel dia. Tanpa saya sadari saat-saat membaca novelnya, saya tersenyum sendiri, tertawa terbahak-bahak sendiri bahkan ikut berempati ketika menikmati bacaan itu. Malahan kadangkala keasyikan yang saya raih itu, ingin dibagikan ke teman-teman atau orang-orang disekeliling. Sebab seingat saya, selama hidup belum pernah saya membaca buku apa saja judulnya, terbawa emosi dan memberikan apresiasi berlebihan. Baru kali ini saya merasakan kenikmatan membaca seperti menikmati minuman segar dikala dahaga saat berbuka puasa. Sekali lagi, “Wow luar biasa karya Andreas Hirata ini”.

Untuk Andrea Hirata, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas karyanya yang dapat memotivasi saya dan para pembaca yang lain untuk lebih berkreasi dan lebih produktif. Dan saya beranggapan karya-karya anda layak mendapatkan penghargaan karya sastra luar biasa di era mutakhir ini. Semoga anda tetap dalam lindungan Tuhan YME ketika anda menulis karya berikutnya, sehingga selalu mempunyai makna dan “ruh” untuk menciptakan sebuah perubahan etos atas makhluk Indonesia yang hari ini sedang banyak dirundung krisis multi-dimensi. Bravo Andrea Hirata.


0 komentar:

blogger templates | Make Money Online