Ironis memang Ujian Nasional yang dipayungi sistem pendidikan di Indonesia selalu diiringi dengan jerit tangis anak didik. Hampir dipastikan setiap tahun terjadi stres kolektif dari mulai murid, orang tua, guru, Kepala Sekolah, mungkin juga penyelenggaranya. Deg-degan mewarnai pra-UN sampai jelang papan pengumuman di buka. Alhasil, buka lembaran kertas pengumuman kelulusan dibarengi tangisan, jeritan dan parahnya lagi pingsan sampai gangguan jiwa. Tentunya juga suka cita bagi yang sukses atau lulus mengiringi moment itu, meski diselingi cucuran air mata mengalir terharu.
Apa yang terjadi di Republik ini? kalau Radea (temen saya) selalu bilang "Au ah elap"!? Menurut saya ekspresi temen saya itu cerminan profil mayoritas masyarakat kita hari ini. Mereka sudah ogah-ogahan melihat karut marutnya sistem di Republik ini, termasuk sistem pendidikan. Mereka mungkin sudah letih melihat dan merasakan sekaligus terpaksa menikmati "menu" pendidikan yang cenderung dipaksakan oleh Pemerintah. Saya hampir tidak percaya kalau di Indonesia banyak begawan pendidikan, sebab dari tahun ke tahun korban sistem pendidikan kita semakin bertambah. Tapi suara kritis sayup-sayup tidak terdengar. Para begawan pendidikan itu seperti tidak ada kekuatan untuk menyuarakan ekses sistem pendidikan yang tidak mencerdaskan dan mendewasakan. Belum lagi kalau kita berdebat output & outcome dari produk sistem pendidikan yang sudah dan sedang berjalan ini.
Sedikit ilustarsi produk pendidikan hari ini: Semarak tawuran antar pelajar, narkobaisme di sekolah-sekolah bahkan sampai level mahasiswa tawuran sudah menjadi hiasan media elektronik sehari-hari. Demontrasi diwarnai prilaku anarkhisme yang identik dengan perusakan dan kekerasan. Prilaku korupsiisme yang dilakukan manusia-manusia "terdidik" dan masih banyak lagi praktik dehumanisasi yang bercokol di muka Republik ini. Kalau sudah insan "terdidik" dihinggapi virus dehumanisasi, maka kelanjutan torehan sejarah bangsa ini bisa ditebak kemana akhirnya.
Deretan ilustrasi itu mencerminkan bangsa ini semakin mendekati -- meminjam istilah Cak Nur -- titik nadir, untuk tidak menyebut "tsunami moralitas". Masyarakat hampir sulit mencari figur nasional yang dapat dijadikan "Juru Selamat" bangsa ini. Lagi-lagi, semua itu salah satu bagian dari dampaki sistem pendidikan yang lebih mengedepankan formalitas atau kulit semata, ketimbang substansinya. Sejatinya pendidikan itu mencerdaskan dan membuat enjoy semua pihak. Pendidikan itu wajah yang berseri dan selalu tersenyum. Pendidikan itu mengayomi yang papah dan lemah. Pendidikan itu tidak menindas. Pendidikan itu bukan momok yang menakutkan. Pendidikan bukan sosok "makhluk angker" yang selalu menakut-nakuti anak didik.Wallahu'alam.
0 komentar:
Posting Komentar