Maraknya aliran-aliran agama yang muncul belakangan ini, membuat banyak orang dari mulai tokoh agama, pemerintah, aparat sampai masyarakat awam dibikin sibuk untuk mencari solusinya. Seperti halnya kasus Ahmadiyah, dan yang paling terakhir Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dituduh "sesat" oleh berbagai institusi-institusi Islam (MUI dan Ormas-ormas Islam). Dan yang paling membuat rasa kemanusian penulis tersentuh, adalah prilaku kekerasan (anarkhis) yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Hal ini dapat juga dijadikan cerminan bahwa pola interaksi sosial bangsa kita yang menganggap terapi konflik adalah bagian dari solusi yang instan untuk diberlakukan.
Hemat penulis, bahwa pola interaksi sosial dari sebuah masyarakat yang moyoritas, merupakan miniatur dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Jadi, tatkala masyarakat kebanyakan dalam menyelesaikan berbagai masalah dengan pendekatan konflik, maka bangsa ini mengalami "metamorfosis" ke arah regress (kemunduran). Sebaliknya, kalau bangsa ini dalam setiap penyelesaian masalah melalui pendekatan equallibrium (harmoni), maka capaian ke arah proggress (kemajuan) akan teralaminya. Untuk itu, yang paling bertanggungjawab dalam hal ini adalah pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam mengatur masyarakatnya. Diakui atau tidak, peristiwa yang sejenis hampir sering terjadi di berbagai wilayah di negeri ini. Dan boleh jadi, akan menyusul terus-menerus dengan kasus yang sama. Dengan demikian, perlunya antisipasi dari berbagai elemen bangsa.
Bagi "aktor intelektual" dari aliran-aliran agama yang dianggap kontroversi, semestinya dalam mengemban "misi" yang akan digelindingkan ke masyarakat, memantau terlebih dahulu, apakah misinya populer atau justru akan membuat keresahan di masyarakat secara sporadis. Pada akhirnya bukan persoalan memperjuangkan "kebenaran" yang mungkin "truth claim" (klaim kebenaran) -- nilai kebenarannya juga masih relatif -- tetapi yang harus mendapat porsi lebih untuk diperhatikan adalah persoalan social order (ketertiban sosial) yang terancam. Apalagi kalau dilihat dari berbagai aspek, bahwa bangsa ini masih banyak "agenda" permasalahan yang harus secepatnya diselesaikan, terutama yang berkaitan dengan kemiskinan dan pemberantasan korupsi yang tak kunjung tuntas. Menurut analisis penulis, prilaku para "aktor intelektual" aliran-aliran agama kontroversi dapat juga dikatagorikan sebagai "anarkhisme sosiologis".
Istilah anarkhisme sosiologis dapat juga diartikan, sebuah proses pemaksaan ide, pikiran, atau gagasan yang tidak sesuai dengan mainstreem masyarakat pada umumnya. Pada tataran filosofis atau bahkan positivistis boleh jadi beranggapan bahwa, pikiran, gagasan atau ide apapun tidak ada satu pun yang dapat membendung , kecuali pikiran itu sendiri. Tetapi dalam konteks sosial, perihal toleransi, apresiasi, dan egaliterian adalah bagian yang tak dapat diabaikan begitu saja. Biasanya dalam hukum sosial, yang berlaku adalah gagasan, ide atau pikiran yang sudah dianggap mainstreem (arus utama), meskipun kadangkala tidak mempersoalkan benar dan salah dalam konteks apapun, mungkin termasuk juga teologi. Tetapi yang berlaku biasanya adalah, layak dan tidak layaknya sebuah gagasan itu eksis -- berdasarkan kesepakatan sosial.
Oleh karenanya, persoalan pencarian solusi yang dapat menjadi win-win solution bagi semua pihak, adalah para pemegang kebijakan (pemerintah) perlu membuat mekanisme atau aturan main yang dihasilkan dari berbagai komponen bangsa, termasuk di dalamnya yang pro dan yang kontra. Kenapa demikian? karena mereka semua adalah anak-anak bangsa yang mempunyai hak hidup yang sama, sekaligus menghendaki ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan mereka untuk bermasyarakat dan berbangsa. Sehingga untuk mewujudkan sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat tidak akan mengalami kesulitan, apabila semangat dialogis di antara anak-anak bangsa seringkali dilakukan. Apapun masalah akan selesai, kalau manusia berikhtiar mencari problem solving-nya, sebab Tuhan pun menciptakan masalah-masalah makhlukNya sepaket dengan solusinya. Itupun kalau kita berkemauan keras mencari alternetif pemecahannya. Wallahu'alam
Rabu, 31 Oktober 2007
Perlunya Pengendalian Sosial Untuk Aliran-aliran Agama di Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar