Image and video hosting by TinyPic

Senin, 01 November 2010

Soempah Pemoeda ala Punkers

Belakangan, di beberapa titik kota-kota besar hampir mudah kita temukan penampilan anak-anak muda yang terasa ‘ganjil’ menurut ukuran adat ketimuran. Keganjilan tampak pada cara mereka berpakain, model rambut Mohawk, sepatu boot, dan asesoris body piercing (tindik) sebagian tubuh mereka. Ketidakacuhan prilaku mereka melengkapi penampilannya. Ketika merangsek ke tempat-tempat umum (public space), mereka berkerumun seperti semut hitam yang sedang bercengkrama satu sama lain. Ketidakpedulian sosial seakan-akan menjadi bagian dari ‘ideologi’ yang tertanam dalam benak mereka masing-masing. Simbol-simbol komunikasi pun sepertinya diciptakan berbeda dengan masyarakat umum. Mereka ini sebutan populernya generasi “Punk” ala Indonesia.


Saya tidak mencoba untuk mempersoalkan sejak kapan budaya Punk masuk ke Indonesia. Hanya saja menarik untuk dicermati, budaya impor ini belakangan semakin menjadi sajian yang menggiurkan untuk diadopsi oleh sebagian kecil generasi penerus republik ini. Konon, ketertarikan mereka menjadi “Punkers”, karena ada prinsip-prinsip persamaan (equality) dan kebebasan (freedom) yang dijadikan mottonya. Ekspresi tampilannya pun bagian dari penolakan kultur atau budaya yang selama ini dijadikan tolak ukur masyarakat pada umumnya. Atas nama kebebasan dan persamaan yang dijadikan alasan menolak budaya status-quo itu. Kesetiaan diulurkan hanya untuk komunitasnya, meski kadang harus gesekan dengan orangtua sekalipun.

Kehadiran budaya impor yang satu ini, tidak jarang memunculkan pro-kontra di berbagai lapisan masyarakat. Lapisan masyarakat yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka, beralasan Punk produk budaya impor yang banyak berseberangan dengan nilai-nilai ‘budaya asli’ Indonesia. Maka tidak ada alasan memberikan ‘ruang’ ekspresi bagi generasi Punk ini. Sementara yang pro dengan kehadiran mereka, beranggapan generasi Punk juga bagian dari anak bangsa yang mencoba untuk berekspresi seperti generasi muda yang lain meski dengan cara yang berbeda. Kehadiran mereka dengan seperangkat identitasnya, bagian dari wujud perlawanan terhadap kemapanan budaya yang dianggap membelanggu ekspresi kebebasannya. Yang pro-Punk pun beranggapan, tidak ada alasan yang tepat untuk menyalahkan dan menyudutkan generasi Punk, tapi budaya kita lah yang selama ini kesulitan memberikan jawaban terhadap krisis identitas segelintir generasi muda itu. Gilirannya, mereka jatuh hati pada Punk sebagai jawaban atas krisis identitas yang dirasakannya.

Sengaja tulisan ini mengajak para pembaca untuk memotret atau mungkin berempati atas eksistensi generasi Punk ala Indonesia. Kadangkala saya mencoba berimajinasi untuk menjadi mereka dan merasakan tarikan pencarian identitas yang sangat kompleks itu. Terlepas dari labeling (julukan) yang mereka terima dari masyarakat, yang jelas mereka ini ada dan nyata dihadapan kita semua. Kadangkala mereka ini lepas dari sorotan publik di tengah-tengah hingar-bingar persoalan kebangasaan yang lainnya. Seakan-akan mereka (Punkers) tidak ada, atau adanya dianggap tidak menggenapkan. Bahkan para penyelenggara Negara sepertinya menganggap Punkers sebagai “anak tiri” bangsa yang tidak perlu mendapat perhatian khusus laiknya generasi muda pada umumnya. Demikian juga para akademisi yang tidak mau sedikit berkeringat (serius) untuk menstudi Punkers sebagai indikasi lahirnya sub-kultur baru yang mungkin menjadi salah satu alternatif pilihan generasi penerus bangsa.

Boleh jadi pernyataan ini berlebihan, tapi kita bisa saksikan bersama bahwa realitas Punkers ini wujud, dan kemungkinan akan semakin meramaikan jagat republik ini dengan berbagai problematika sosial yang mereka sandang. Selanjutnya, segera diperlukan keseriusan para penyelenggara Negara, akademisi dan seluruh lapisan masyarakat untuk lebih memberikan ‘perhatian’ yang sama – untuk tidak mengatakan khusus – akan kehadiran Punkers di tengah-tengah keluarga besar bangsa ini.

Terakhir, tentunya catatan kecil ini tidak memakai perspektif, pendekatan atau teori yang terlalu rumit dan ‘njelimet’ itu. Ini hanya sekedar refleksi dan apresiasi untuk generasi muda dengan “Sumpah Pemuda” nya yang selama ini terkesan hanya ritual kebangsaan yang tanpa ruh alias rutinitas semata. Wallahu’alam***

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

blogger templates | Make Money Online