Image and video hosting by TinyPic

Rabu, 20 Februari 2008

Pendidikan Anti Korupsi Semenjak Usia Dini

Semarak pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan ini, mengindikasikan keseriusan pemerintah Indonesia untuk menghilangkan praktek-praktek amoral dan ahumanis itu. Tidak sedikit para oknum aparatur negara atau pengusaha nakal yang sudah dan telah menjalani proses hukum di era kepemimpin SBY yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekayaan negara. Pro-kontra pun mewarnai proses hukum yang berjalan sesuai dengan latar-belakang kepentingannya masing-masing. Sebagian beranggapan proses hukumnya bernuansa politis, dengan asumsi "tebang pilih". Sebagian lagi, beranggapan proses hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jelasnya, ternyata itikad (niat) baik itu tidak selalu berjalan mulus meskipun berkaitan kebenaran universal (semua manusia sepakat).


Untuk tidak menyebut "lamban dan ragu-ragu", para pengamat beranggapan bahwa pemerintahan SBY dalam setiap mengambil kebijakannya senantiasa terkesan kurang tegas, tidak terkecuali kasus korupsi. Boleh jadi, gaya atau style SBY yang "flamboyan" itu sudah menjadi bagian dari karakter personality dia. Terlepas setuju atau tidak, itulah gaya yang dimiliki oleh Presiden kita hari ini. Memang, kadangkala dalam hal-hal tertentu menguntungkan, namun dalam konteks pemberantasan korupsi, praktis dibutuhkan akselerasi yang proporsional. Maksudnya, bila penanganan kasus korupsi kurang tanggap dan cepat, para "penyamun" uang negara itu keburu kabur, atau menghilangkan barang bukti. Realitas yang demikian ini sudah berulang-ulang terjadi, seperti para Obligator BLBI sebagian sudah tidak berada di Indonesia, dan masih banyak lagi kasus yang serupa.

Pada dasarnya, mayoritas masyarakat kita amat sangat berharap seluruh kekayaan negara dapat dikembalikan dari para koruptor itu, untuk membantu menyelesaikan krisis ekonomi yang sampai sekarang mendera bangsa kita. Tetapi apa yang terjadi hari ini? pemberantasan korupsi berbanding lurus dengan masih menjamurnya praktek-praktek korupsi di Pusat maupun di daerah. Lagi-lagi muncul pertanyaan, apa yang terjadi dengan warga-bangsa kita? Sejauh mana parahnya kondisi mental-spiritual warga bangsa kita? Apakah ada terapi mujarab yang dapat menghilangkan "penyakit" itu? Jawabannya terletak pada itikad baik dari seluruh kompenen bangsa untuk menyelesaikan kasus itu dengan sungguh-sungguh.

Adalah alternatif yang relatif dapat dijadikan salah satu terapi/metode dalam penyelesaikan korupsi di Indonesia. Yakni, memperkenalkan "Anti Korupsi" kepada anak didik (siswa) dalam bentuk "Mata Pelajaran Wajib" di sekolah-sekolah. Mata pelajaran Anti Korupsi itu, seyogyanya disajikan mulai dari tingkat dasar sampai menengah (SD-SMU). Terserah teknis penyajiannya, apakah digabungkan dengan mata pelajaran yang sejenis, seperti agama atau pendidikan moral. Ataukah menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri atau khusus yang menjadi bagian kurikulum nasional. Perihal ini, bisa didiskusikan lebih lanjut dengan para pakar pendidikan yang berkompeten. Tapi yang jelas, perlunya sosialisasi kepada anak didik (siswa) di sekolah-sekolah tentang praktek-praktek korupsi.

Ada beberapa keuntungan yang dapat diambil dari metode ini dalam memberantas korupsi di Indonesia. Pertama, para siswa dari semanjak usia dini sudah mengetahui tentang seluk-beluk praktek korupsi sekaligus konsekuensi yang akan diterima oleh para pelaku. Kedua, memberikan proses pembelajaran tentang kepakaan terhadap praktek-praktek korupsi yang ada disekitarnya. Ketiga, mendidik para siswa dari usia dini tentang akhlak atau moral yang sesuai dengan ajaran-ajaran sosial keagamaan. Keempat, menciptakan generasi penerus yang bersih dari prilaku penyimpangan kamanusiaan (dehumanisasi), dan kelima, membantu seluruh cita-cita warga bangsa dalam menciptakan good-goverment demi masa depan yang lebih baik dan beradab.

Dengan demikian, ke depannya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tidak terlalu banyak menyita energi dan ongkos sosial yang tinggi. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh sebagian besar warga bangsa melalui pendidikan, paling tidak akan semakin memperkecil prilaku korupsi -- meskipun tidak sekaligus musnah dari bumi Nusantara ini. Di atas itu semua, adalah niat baik disertai dengan usaha keras merupakan manifestasi dari "Insan Kamil" atau manusia yang sempurna sesuai dengan fitrahnya.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Selasa, 12 Februari 2008

Jangan Ada Dusta di Antara Kita

Perbedaan cara pandang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan sebagian anggota DPR RI tentang interpelasi BLBI, menjadi polemik yang menghangatkan atmosfir perpolitikan republik ini. Hampir semua orang tertuju pada polemik itu, meski sebagian warga masih ada yang larut atas meninggalnya Pak Harto (mantan Presiden RI ke 2) dengan berbagai beban hukumnya. Ternyata idiom interlepelasi bukan moment yang dianggap wajar dan lumrah dalam wacana demokrasi di negeri ini. Padahal di negara-negara yang menganut demokrasi, interpelasi sudah menjadi "sarapan" sehari-hari mereka. Apalagi dalam sistem demokrasi, interpelasi merupakan proses dialogis yang produktif antar eksekutif dan legislatif untuk mencari solusi yang terbaik bagi bangsa.

Dalam kasus ini, alih-alih ada komunikasi politik yang sehat antara Presiden SBY dan DPR RI, malahan keduanya saling adu argumentasi dengan berbagai retorika yang sulit dipahami oleh rakyat banyak. Lebih ironisnya lagi, permasalahan yang dijadikan polemik adalah sesuatu yang bersifat "teknis" dan tidak menyentuh substansi materi interpelasi BLBI. Sepertinya, satu sama lain sudah merasa perpegang pada mekanisme yang berlaku dan mengaku mempunyai otoritas truth klaim yang populis. Alhasil, kedua penyelenggara negara ini sulit ketemu dan dalam titik sumbu yang berbeda untuk hal yang tidak signifikan, sehingga gilirannya yang terjadi adalah sekedar "dramatisasi" dialogis yang absurd (nihil).

Bagi Presiden SBY, kehadiran di Sanayan (Gedung DPR RI) bukan keharusan dalam penyampaikan hak jawabnya kepada para wakil rakyat itu, sebab menurutnya cukup diwakilkan oleh para menterinya sebagai pembantu Presiden. Sementara sebagaian anggota DPR RI, beranggapan Presiden berkewajiban hadir untuk menyampaikan hak jawabnya tentang kasus BLBI dengan alasan keseriusan Presiden dalam menyelesaikan BLBI ditentukan oleh kehadirannya. Kedua alasan yang paradoks itu sebetulnya mencerminkan sikap ketidakdewasaan (childness) yang dipertontonkan kepada seluruh rakyat yang hari ini mereka didera berbagai kesulitan hidup. Terlepas dari reasoning yang mereka (Presiden dan DPR RI) kemukakan berdasarkan mekanisme dan aturan, tetapi ada fatsun politik yang mereka abaikan, yaitu kecerdasan emosional dalam berpolitik. Kecerdasan emosional inilah yang menjadi standar tingkat kedewasaan seseorang dalam menyelesaikan berbagai masalah, apalagi masalah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Menilik kasus interpelasi BLBI ini, sepertinya merefleksikan kepribadian dari para penyelenggara negara yang ternyata lebih banyak menonjolkan kepentingan politik jangka pendek ketimbang politik "Adi Luhung" atau "High Political". Hari ini, sebagian besar rakyat Indonesia sudah letih dan kehabisan energi untuk terus-menerus menyaksikan akrobat para penyelenggara negara tanpa menuai hasil yang berarti bagi semua warga negara. Dan yang paling menggembirakan lagi, rakyat sudah "melek" politik untuk melihat, mengawasi dan sekaligus mengevaluasi para manuver politik atau hidden agenda para pemimpinnya. Dengan begitu, lebih pantas kalau konteks ini meminjam judul lagu Brury Pesolima, "Jangan Ada Dusta di Antara Kita".

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Minggu, 03 Februari 2008

Konflik: Perbedaan Distribusi Otoritas

Sang teoritis konflik modern Ralf Dahrendorf (1958), menyatakan munculnya konflik sosial sistematis di semua asosiasi disebabkan terjadi perbedaan pendistribusian otoritas. Arti kata, otoritas atau kekuasaan lah selama ini yang menjadikan penentu utama konflik individu atau kelompok yang belakangan ini marak diberbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia.

Belajar dari proses perjalanan kepemimpinan Soeharto (rezim ORBA), banyak yang dapat dipetik untuk dijadikan proses pembelajaran yang berharga bagi warga-bangsa Indonesia. Paling menarik untuk direview adalah model distribusi otoritas yang dilakukan rezim ORBA, yaitu perpaduan yang tidak seimbang antara model fungsionalisme (keseimbangan) dengan konflik -- meski tidak disadarinya. Dalam perspektif Dahrendorf, yang dilakukan rezim ORBA atau rezim siapapun merupakan perwujudan yang mesti terjadi. Sebab, dalihnya bahwa otoritas dalam setiap asosiasi selalu bersifat dikotomi, yaitu satu sisi kelompok yang memegang posisi otoritas (superordinat) dan kelompok yang dikendalikan (subordinat) di sisi lain. Dua kelompok ini dalam situasi apapun selalu berhadapan dan saling bertentangan untuk memperjuangkan "kepentingan" masing-masing. Kalau kelompok superordinat fungsi konflik -- meminjam istilah Lewis Coser -- kepentingannya untuk mempertahankan status quo, sedangkan kelompok subordinat kepentingannya perubahan.

Jadi kalau menurut teori konflik modern, siapapun dan apapun bentuk kepemimpinannya selalu dibanyang-bayangi oleh makna otoritas. Sebab setuju atau tidak, makna otoritas selalu melekat pada status/posisi yang merupakan dua entitas yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Maksudnya, mereka yang menduduki posisi otoritas secara otomatis mengendalikan bawahan dan memposisikan sebagai superordinat yang berkuasa atas subordinat. Secara sosiologis, mereka yang berkuasa karena produk espektasi dari orang-orang yang di sekitar mereka, dan bukan karena karaktristik psikologis mereka sendiri, tetapi memang karena posisi lah yang menciptakan seseorang mempunyai otoritas penuh. Alhasil, karena otoritas adalah absah, maka berbagai punishment dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang. Hal ini berlaku bagi siapapun yang memposisikan sebagai pemegang otoritas atau kuasa, berikutnya hanya tergantung pada perbedaan kadar sanksi yang diberikan pada lawan posisinya.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

blogger templates | Make Money Online