Image and video hosting by TinyPic

Minggu, 27 Januari 2008

Meninggalnya Sang Jenderal Tersenyum: HM. Soeharto Presiden RI Ke 2

INNALILLAHI WA INNAILAHI ROOJI'UN. Telah berpulang ke pangkuan Ilahi, HM.Soeharto pada hari minggu tanggal 27 Januari 2008, pukul 13.10 WIB di RS.Pusat Pertamina Jakarta. Sejarah telah mencatat bahwa HM. Soeharto adalah Persiden RI ke 2 dan memimpin Indonesia selama 32 tahun, dengan berbagai dinamikanya. Sebagai manusia, Pak Harto mempunyai kelemahan dan kelebihan, dan inipun berlaku bagi semua makhluk Tuhan tanpa kecuali. Semoga selama kepemimpinan Pak Harto menjadi pelajaran yang paling berharga bagi bangsa Indonesia ke depan, tanpa harus mengedepankan subyektifitas. Tuhan lah yang lebih obyektif menilai dan menjadi hakim semua ciptaanNya.



baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Sabtu, 26 Januari 2008

Budaya Permisif dan Mesin Birokrasi

Semula birokrasi untuk mengelola secara sistemik pelayanan terhadap kepentingan masyarakat banyak, tapi lambat-laun bergeser fungsinya menjadi "mesin besar" yang menggerus berbagai kepentingan masyarakat itu sendiri. Yang tersisa hanya kepentingan aparat pemerintah atau sejenisnya demi meraup keuntungan profit individu atau kelompoknya. Dengan kata lain, motto: "Pelayanan Publik" hanya menjadi tempelan plang papan nama di beberapa instansi pemerintah. Diakui atau tidak, hal inilah yang kerapkali mewarnai proses perjalanan birokrasi institusi-institusi pelayanan publik di Indonesia.


Praktek "jalan tol" dalam birokrasi di Indonesia sudah merupakan "virus" yang merembes di berbagai instansi pemerintah, terutama yang berkaitan dengan layanan publik. Siapapun dapat pelayanan yang super cepat kalau memenuhi syarat yang tak tertulis -- atau bahasa gaulnya "angpau" (uang) -- meski syarat yang sesungguhnya masih kurang lengkap. Realitas seperti ini pada gilirannya mengkristal dan menjadi kultur di tengah-tengah masyarakat kita. Istilah TST (tau sama tau) sudah bagian dari idiom komunikasi birokrasi yang dimaklumi bersama. Ironisnya, kadangkala hal ini dikemas dengan logika take and give, dan berdasarkan deal /kesepakatan yang tak tertulis antar aparat dan masyarakat, meskipun terkesan dipaksakan.

Kultur birokrasi yang permisif inilah yang memberikan dampak tidak sehat terhadap pembentukan mental bangsa kita, mulai dari aparaturnya sampai masyarakat pada umumnya. Bangsa Indonesia tidak akan maju dan survival, kalau terus-menerus mengawetkan kultur permisif dalam dunia birokrasi.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Selasa, 22 Januari 2008

Kenapa Bahan Pokok Harus Naik?

Belakangan, rakyat Indonesia semakin terbebani dengan kenaikan bahan-bahan pokok yang melambung tinggi. Terutama rakyat kecil, semakin sulit untuk menikmati kehidupan yang layak di bumi Nusantara yang dikenal kaya dengan hasil buminya. Ironis memang, bila melihat potret yang paradoks disekitar kita, di satu sisi banyak rumah mewah dan berjubelnya kendaraan yang model keluaran baru dengan harga yang selangit, sementara di sisi lain, sebagian masyarakat kita masih ada yang makan "nasi aking" atau " nasi second ". Inilah fakta sosial yang tak terbentahkan di era kepemimpinan SBY-JK, bahwa belum adanya perubahan yang signifikan di beberapa bidang terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat.

Apa yang terjadi bila masyarakat banyak yang mengeluhkan tentang kenaikan bahan pokok yang melambung tinggi dan tak terjangkau harganya oleh mereka? Bila hal itu terjadi terus-menerus, dapat dibayangkan banyak rakyat yang sulit mendapatkan makanan yang layak dan lebih parahnya mereka melanjutkan hidupnya dengan tertatih-tatih. Sehingga yang terbersit dalam benaknya adalah krisis kepercayaan terhadap pemerintah SBY-JK dalam menangani problem fundamental rakyat. Dalam konteks ini, masyarakat pada umumnya tidak mempersoalkan dampak harga minyak dunia yang sempat menembus lebih dari 100 dolar, tapi secara riil mereka melihat ketidakadilan policy pemerintah dalam pemerataan kesejahteraan. Atau yang lebih lunak, rakyat menganggap rezim SBY-JK sudah tidak mampu lagi menjalankan roda kepemerintahannya. Oleh karena itu, boleh jadi fenomena ini akan mempengaruhi popularitas kedua pemimpin RI, apalagi berkaitan dengan kepemimpinan nasional ke depan.

Indikasi ini sudah jelas merefleksikan ketidakberdayaan pemerintah untuk meregulasi kebutuhan bahan pokok, padahal persoalan kebutuhan bahan pokok merupakan faktor fundamental yang tidak bisa dijadikan trail and error atau uji coba. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah memang harus berbading lurus antara kenaikan minyak dunia dengan bahan-bahan pokok? Dan Apakah pemerintah tidak dapat ekspansi pasar untuk menstabilkan harga-harga bahan pokok? Wallahu'alam...





baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Sabtu, 19 Januari 2008

Siapkah Indonesia berdemokrasi?: Sebuah Refleksi Proses Pilkada

Presiden Amerika Abraham Lincoln, pernah menyatakan dalam pidato kenegaraannya tentang arti negara demokrasi yang sesungguhnya, yakni “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Definisi ini menurutnya berlaku bukan hanya untuk Amerika Serikat, tetapi dapat juga diterapkan untuk semua negara-bangsa di seluruh dunia. Memang, demokrasi adalah pilihan ideologi negara yang sangat berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Tidak sedikit memunculkan pertentangan dan ketegangan tatkala negara-bangsa memberlakukan pemerintahan demokrasi. Demokrasi tidak dirancang untuk efisiensi – tapi demi pertanggungjawaban (sense of responsibility) – sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah itu. Kendatipun begitu, demokrasi bukanlah merupakan proses yang sudah selesai dan tanpa kelemahan yang berarti.

Menyimak perjalanan proses demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru, sepertinya mengalami pasang-surut yang berarti. Batu uji demokrasi yang nampak adalah ketika pemilihan kepala daerah (Pilkada) di sebagian wilayah Indonesia, dibarengi dengan pencideraan norma-norma demokrasi yang hakiki. Pesta demokrasi (Pilkada) yang seharusnya saling menghargai perbedaan, ternyata yang muncul adalah saling menghujat, kampanye hitam, bahkan lebih parahnya konflik horisontal antar pendukung calon semakin meramaikan media cetak dan elektronik. Sepertinya atmosfir toleransi semakin menjauh dari bangsa ini yang baru bangkit dari keterpurukan, dan mungkin sangat sulit untuk mencapai bangsa yang beradab (civilization), kalau realitas yang demikian itu terus-menerus mewarnai proses demokrasi.

Belakangan ini sudah menjadi pemandangan umum (melalu media), kegiatan Pilkada selalu diwarnai dengan konflik antar pendukung calon dan diiring bentrokkan fisik dengan aparat keamanan. Lebih tragisnya, eskalasi kerusuhan merebak sampai kepada masyarakat yang tidak terlibat secara langsung dalam proses pesta demokrasi tersebut. Padahal "ongkos" politik, ekonomi, sosial dan budaya sangat "mahal" untuk dijadikan taruhan dalam dalam proses Pilkada. Pemandangan seperti itu, sesungguhnya menggambarkan realitas objektif keberadaan masyarakat kita yang masih belum siap menghadirkan norma-norma demokrasi yang sejati dalam proses pemilihan kepala daerah. Masyarakat kita pada umumnya, masih memerlukan learning process yang lebih intens untuk menjadi warga-bangsa yang berkepribadian civilize ( toleran, menghargai HAM, mandiri dan taat pada aturan yang sudah disepakati bersama).

Untuk menuju ke arah itu, semestinya mulai dari sekarang Penyeleggara Negara berinisiatif untuk mendidik warganya melalui berbagai alternatif. Salah satunya, adalah pendidikan politik yang beretika semenjak usia dini, paling tidak dari jenjang menengah pertama atau setingkat SMP. Lebih jelasnya, memasukkan pendidikan politik yang beradab ke dalam kurikulum SMP sampai SMA. Sementara untuk jenjang Perguruan Tinggi , kurikulum pendidikan politik lebih menekankan aspek-aspek filosofis dan humanisme-religius yang bernuansa kearifan lokal. Meskipun demikian, yang lebih penting dari itu semua adalah komitmen semua warga-bangsa untuk selalu memperbaiki citra sebagai masyarakat berbudaya dan beragaama secara konsisten.

Nampaknya hari ini, "makhluk" demokrasi di Indonesia masih menjadi wacana an-sich, atau masih menjadi bahasa "langit" (belum membumi), sehingga -- meminjam istilah Kuntowidjoyo -- belum adanya connecting antara das sain dan das sollen. Maksudnya, dalam konteks demokrasi di Indonesia antara alam ide dengan realitas tidak seiring dan tidak saling mendukung. Dengan demikian -- untuk menuju Indonesia Baru -- seyogyanya lebih mengedepankan semangat peradaban bangsa-dunia yang unggul dan siap berkompetisi dengan negara manapun dalam berbagai hal, terutama tentang nilai-nilai universalitas peradaban manusia.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Kamis, 17 Januari 2008

Muda Vs Tua: Perspektif Kepemimpinan Nasional

Ahmad Wahib (alm.) dalam catatan harianya "Pergolakan Pemikiran Islam", mengemukakan bahwa problematika di Indonesia pada masa itu dikarenakan adanya gesekan antar generasi (gap generation). Pernyataan itu, dalam konteks kekinian menjadi perbincangan hangat dalam konstelasi kepemimpinan pasca ORBA. Setuju atau tidak, dari mulai Gus Dur sampai Soesilo Bambang Yudhoyono, belum ada perubahan yang berarti untuk mengentaskan dari berbagai masalah yang mendera bangsa ini. Untuk itu menjadi wajar, apabila sebagian besar rakyat Indonesia menghendaki pemimpin yang masih segar (fresh) dan lebih visioner sebagai "ratu adil" dalam melanjutkan estafeta kepemimpinan bangsa ke depan.

Sudah menjadi kenyataan sejarah bangsa-bangsa dunia, bahwa pergantian kepemimpinan selalu dibarengi dengan semangat merubah status-quo ke arah yang lebih maju dan tampil beda. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan kemudian, siapakah yang berhak menyandang agen perubahan itu? Apakah dari figur generasi tua atau dari generasi muda? Sebab ada perbedaan perspektif tentang kepemimpinan dari sisi usia atau generasi. Bagi yang berpandangan bahwa usia atau generasi menjadi faktor penting untuk sebuah kepemimpinan, yakni generasi muda merupakan representasi dari penyegaran ide-ide, sekaligus gabungan antara kekuatan spirit dan intelgensi. Sementara bagi yang berpandangan bahwa usia atau generasi tidak menjadi ukuran keberhasilan, adalah kepemimpinan ditentukan oleh kekuatan visi yang dibarengi oleh semangat merubah keadaan ke arah yang lebih progres (maju).

Terlepas dari dialektika di atas, ada yang lebih penting untuk dipertimbangkan sebagai wacana model pemimpin nasional Indonesia masa depan, yakni figur yang mempunyai cara pandang visioner dan selalu berpihak pada kepentingan hajat hidup orang banyak (rakyat). Dan di atas itu semuanya, pemimpin nasional harus mempunyai spiritualitas religius yang mumpuni. Sebab tanpa itu, dapat dipastikan semangat sense-responsibility akan memudar dan absurd (tanpa makna) dalam setiap menjalankan roda kepemimpinannya.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Selasa, 15 Januari 2008

Qiro'at Al Quran

Islam adalah agama yang senang dengan keindahan seperti halnya seni lantunan indah(qira'at) Al Qur'an yang dapat menyejukkan qalb sekaligus merenungkan seluruh ciptaanNya. Dengan AlQur'an manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan kuasa Allah SWT yang Maha segala-galanya.Untuk lebih lengkapnya kita dengarkan qiraatnya Syekh Abdul Basith Abdul Shamat dan anak kecil mirip suara Abdul Basith Kid (klik play vidio pada hal baca selanjutnya...)




baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Senin, 07 Januari 2008

Membangun Kesadaran Kolektif Bangsa

Berbagai peristiwa di Indonesia belakangan ini, mewarnai dinamika sosial yang banyak menyita energi seluruh komponen bangsa. Dari mulai bongkar pasang kabinet SBY-JK sampai konflik horizontal (anarkhisme) yang tak kunjung reda. Belum lagi, penyelesaian penegakkan hukum yang masih berkutat pada kasus-kasus “recehan” – belum menyentuh yang substanstif – sampai pada polemiknya antar lembaga tertinggi Negara (MA Vs KPK). Di tambah lagi, kebijaan ekonomi pemerintahan SBY-JK yang belum berpihak sepenuhnya kepada kesejahteraan rakyat kecil, sebab lagi-lagi alasannya adalah jargon “pertumbuhan” untuk menstabilkan ekonomi makro. Akibatnya, hanya segelintir orang saja (pengusaha kelas menengah sampai kakap) yang dapat survival dan menikmati “kue pembangunan” republik ini.


Lebih ironisnya, untuk sebuah negara yang berdaulat dan bahkan cenderung “over” demokrasi seperti Indonesia, masih terdapat warga negara yang tidak aman dan merasa terancam hidupnya. Terlepas, karena mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan mainstream masyarakat pada umumnya (kasus aliran-aliran “sesat”). Tetapi yang paling penting adalah, bagaimana peran negara untuk melindungi dan mengayomi seluruh warga negaranya berdasarkan mekanisme penegakkan hukum yang berlaku. Negara melalui perangkatnya lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif semestinya lebih menekankan pada konsistensi law enforcement untuk memberikan kesan pada dunia internasional sebagai sebuah negara yang berdaulat dan berperadaban.

Selain itu pula, masih ada beberapa kasus lain yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, ternyata radiasi kebebasannya menyentuh wilayah kebebasan orang atau kelompok lain. Hal inilah yang menyebabkan gesekan antar warga masyarakat yang pada gilirannya terjadinya konflik horizontal yang tidak mudah untuk diselesaikan. Sebagian masyarakat memaknai kebebasan adalah ekspresi tanpa batas, mungkin lebih ekstremnya free-value (bebas nilai). Sementara secara hakiki, tidak mungkin makna kebebasan itu sendiri menciderai harkat kemanusian universal. Oleh karenanya, diperlukan learning-process yang lebih koprehensif kepada masyarakat tentang makna kebebasan yang sejati, melalui pendidikan sosial-politik yang mencerdaskan.

Bersamaan dengan itu, masalah patologi sosial semakin sulit dihilangkan karena lemahnya penegakkan hukum di republik ini. Semisal kasus narkoba, justru secara kuantitatif dan kualitatif meningkat. Bahkan uniknya, tempat tahanan (LP: Lembaga Pemasyarakatan) menjadi basis pengedaran yang paling produktif, padahal LP semestinya menjadi lembaga yang steril dari berbagai “penyakit” masyarakat dan sekaligus membuat efek jera pada para pelakunya. Realitas yang demikian ini semakin menambah rumitnya proses penegakkan hukum yang berkeadilan dan berperadaban.

Belum lagi penanganan masalah bencana alam (banjir, tanah longsor dsb.) yang sebagian besar disebabkan pengrusakan lingkungan oleh manusia, mulai dari pembalakan liar (illegal logging) sampai pada pembuangan sampah yang tidak tertib. Bersamaan dengan itu pula, dampak yang paling membahayakan bagi kehidupan manusia karena kerusakan lingkungan adalah (global-warming) atau pemanasan global yang dapat merubah drastis ekosistem kehidupan manusia. Antisipasi pemerintah dalam hal ini, belum maksimal dan tegas dalam menindak para pelaku pengrusakan lingkungan dengan sanksi hukum yang sangat berat, sebab menurut hemat penulis, kasus ini sama beratnya dengan terorisme. Paling tidak, aspek kesamaannya adalah menghancurkan lingkungan (ekosistem) dan masa depan manusia secara keseluruhan.

Untuk itu, kepada seluruh penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) --dalam rangka membenahi masalah kebangsaan yang sangat kompleks – seyogyanya memberikan keteladanan dan sekaligus mengajak seluruh komponen bangsa untuk membangun republik ini. Sudah waktunya bagi para penyelenggara negara itu menyadari, bahwa berlarutnya masalah yang multi-kompleks, dikarenakan “keterbatasan” political will mereka untuk mengelola negara dengan baik dan sungguh-sungguh. Dengan demikian, sarat utama untuk membangun negara yang berkeadaban dan berprikemanusian adalah membentuk kesadaran kolektif yang berpijak pada semangat humanisme-religius. Sehingga pada gilirannya, hal itu akan menjadi energi positif yang dapat memotivasi mereka untuk selalu berfikir dan berkarya demi hajat hidup orang banyak (rakyat).



baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

blogger templates | Make Money Online