Image and video hosting by TinyPic

Selasa, 25 September 2007

BPK VS MA

Prilaku elite kukuasaan di negeri kita aneh bin ajaib. Bagaimana tidak? dalam suasana bangsa yang sedang dirundung berbagai masalah yang tak kunjung redah, para elite sibuk dengan konflik (cakar-cakaran)antar mereka. Seperti kasus konfliknya BPK dan MA, yang pada akhirnya Presiden harus ikut membantu menyelesaikan persoalan mereka. Sinyelemen yang seperti itu menjadi proses pembelajaran politik yang tidak sehat bagi masyarakat. Masyarakat semakin dibikin bingung dan mungkin jengkel melihat prilaku elite yang semakin childness (kekanak-kanakan.)

Proses pendewasaan seluruh elemen bangsa ternyata bukan pekerjaan mudah. Bahkan elite kekuasaan pun masih ada yang tidak masuk pada katagori dewasa dari sisi wisdom atau sikap kenegarawanan yang mumpuni. Hari gini... elite kekuasaan masih bersikap kekanak-kanakan? Saya kira sudah bukan zamannya lagi. Masyarakat semakin tidak bisa berharap banyak untuk mentauladani para elite penguasa di negeri ini.

Ironisnya, seperti sang elite hukum sekelas MA, tidak berkenan untuk di sentuh (untouchable)oleh lembaga apapun. Seyogyanya, MA lah yang memberikan tauladan yang progresif ke seluruh lapisan sosial di negeri kita ini, terutama di bidang penegakkan hukum. Dan justru bukan terkesan sebagai "negara" dalam Negara", yang sulit untuk diajak kompromi karena meresa paling benar dan berdiri di atas hukum itu sendiri. Saya kira tidak ada lembaga negara apapun bidangnya, sepi dari urusan human error, tidak terkecuali MA atau bahkan BPK sekalipun. Oleh karena itu, idealnya kalau masih menghendaki Indonesia menjadi negeri yang bermartabat dan beradab, semua elemen bangsa ini, dari mulai elite sampai grassroot-nya (rakyat) harus menjunjung tinggi norma-norma yang sudah disepakati bersama. Tanpa ada komitmen yang seperti itu, cita-cita menjadi negara berkeadilan dan berperadaban sepertinya hanya isapan jempol semata. Sejarah banyak membuktikan...

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Sabtu, 22 September 2007

Pemerintah Vs Pedagang Kaki Lima (PKL)





Hampir setiap hari berita di telivisi-telivisi atau media cetak di kita, dipenuhi tentang penertiban wilayah-wilayah yang dihuni Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh aparat trantib dan aparat keamanan daerah. Ironisnya, setiap pemuatan berita tentang penertiban PKL selalu dibarengi dengan bentrok fisik dan selalu ada korban. Hal itu terjadi terus-menerus bagaikan aktivitas yang sudah menjadi kemestian adanya. Sehingga gambaran yang nampak di permukaan adalah, sebuah potret masyarakat yang selalu didera konflik terus-menerus tanpa ada kepastian penyelesaian. Atau memang jenis masyarakat kita -- dari mulai penguasa sampai rakyatnya -- adalah masyarakat yang "sakit". Sakit di sini dimaknai, meminjam istilah ahli psikologi yang dinamakan "patologi sosial", yakni semacam penyakit jiwa yang kaitannya dengan pola hubungan sosial.

Oleh karena itu, dalam konteks untuk mencari jalan keluar yang win-win solution diatara kedua pihak, semestinya ada alat kontrol selain perundang-undangan, yakni pendekatan-pendekatan yang sifatnya sosio-kultural. Sosio-kultural yang dimaksud adalah pendekatan yang melibatkan tradisi-tradisi setempat dengan tidak melepaskan sama sekali aturan perundang-undangan yang berlaku. Semisal, menertibkan PKL di daerah yang nota-bene masyarakat religius, maka pemerintah dalam hal ini mengikutsertakan tokoh-tokoh agama atau masyarakat yang dianggap mempunyai kharisma oleh mereka.


Prioritas yang paling penting bagi pemerintah daerah dalam hal ini, bahwa pemerintah melalui aparat trantib dan aparat keamanannya berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari dari bentrok fisik dengan PKL. Bagaimanapun juga, mereka (PKL) adalah anak-anak bangsa yang mempunyai hak yang sama di mata hukum untuk mencari penghidupan yang layak selagi pemerintah tidak dapat membantu hajat hidup mereka. Pemerintah di sini bukanlah satu-satunya yang memiliki seluruh aset bangsa ini. Pemerintah seyognya menjadi "serve of society" atau pelayan masyarakat, bukan sebaliknya sebagai "tuan tanah" yang selalu menghakimi dengan cemeti pada para pelayan-pelayannya. Mungkin realitas inilah yang salama ini terjadi di negeri ini?...

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Kamis, 20 September 2007

Sekelumit Tentang Anerkhisme di Indonesia Hari Ini

Kalau mengamati proses penegakkan hukum di Indonesia belakangan ini, sepertinya jauh dari harapan untuk menuju sebuah negara besar yang bermartabat dan berperadaban. Penegakkan hukum terkesan masih pilih-pilih atau tebang pilih. Ketika ada sekelompok komunitas tertentu yang mengatasnamakan kekuatan "akar rumput", atau lembaga "agama" yang bertindak atas nama "hakim" adalah produk ketidakberdayaan aparat hukum kita. Ketidakberdayaannya boleh jadi karena memang tidak mampu atau ada faktor kesengajaan , untuk tidak menyebut rekayasa.

Dengan demikian, kalau memang aparat hukum di Indonesia mampu menegakkan hukum tanpa pandang bulu, penulis optimis tidak akan pernah muncul prilaku anarkhisme yang dilakukan oleh komunitas apapun namanya. Jadi logikanya, kemunculan kelompok-kelompok yang bertindak anarkhisme di Indonesia belakangan ini -- sekali lagi, apapun namanya --, adalah sebuah rekayasa yang boleh jadi tidak sengaja diciptakan aparat penegak hukum. Hal itu dikarenakan prilaku mereka yang mempunyai tendensi "tertentu" (pilitical power atau money power). Oleh karenanya, harapan penulis adalah semua komponen masyarakat semestinya tidak henti-hentinya memotret aparat penegakkan hukum dari berbagai "pose", bahkan siap mengingatkan mereka dengan hukum yang berlaku. To be or not Tobe

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Rabu, 19 September 2007

Perubahan Sosial dan Pasang-Surutnya Semangat Keagamaan di Indonesia

Secara sosiologis munculnya semangat perubahan sosial di Indonesia, biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu sendiri. Bahkan sebagaian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di semua sektor merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda, kendatipun dalam proses perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak ringan. Sebut saja, mulai dari perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, agama dan berbagai macam yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia.Dalam konteks ini pula, penulis ingin "membedah" dengan "pisau" analisis sosiologis arah perubahan di Indonesia yang disebabkan keberadaan agama dengan berbagai potretnya.

Kehadiran agama pada dasarnya selalu disertai dengan “dua muka” (janus-face). Pada satu sisi, secara fungsional agama mempunyai watak sebagai “perekat sosial”, memupuk solidaritas sosial, toleran, dan seperangkat peranan yang memelihara kestabilan sosial (harmoni). Di sisi lain, agama juga mempunyai kecenderungan atomisasi (memecah-belah), disintegrasi, dan intoleransi. Secara teoritis-sosiologis, hal ini dapat juga difahami dari dua bentuk antagonisme dalam agama. Pertama, ketegangan atau konflik yang berkembang di kalangan umat suatu agama (intern). Kedua, ketegangan atau konflik yang terjadi antar umat beragama (ekstern).

Untuk beberapa kasus di Indonesia, semisal keberadaan agama Islam dengan kecenderungan dan intensitas perubahannya, dapat ditelaah melalui pengamatan yang serius, baik melalui umatnya maupun kiprah institusi-institusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selintas terkesan kegairahan menghayati agama meningkat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang nota-bene terdidik. Atau paling tidak pendidikannnya relatif sudah mapan. Kenyataan ini tidak memberikan jaminan dan mungkin masih diragukan, apakah ini mencerminkan bertumbuhnya kekuatan agama (Islam) atau sebaliknya? Sebab hal ini berbarengan dengan indikasi krisis kepercayaan sebagian umat Islam terhadap lembaga-lembaga politik (parpol) yang bernuansa agama (Islam) dan adanya “tekanan-tekanan” terhadap para penganutnya.

Dari kenyataan demikian, nampak adanya – dapat disebut “ideologi” -- yang dapat menyaingi keberadaan agama (Islam). Indikasi ini lebih diperkuat dengan cara menghayati agama, di mana penghayatan dirasakan cukup apabila sudah melaksanakan kewajiban pribadinya dalam beribadah. Sedangkan tanggung jawab sosialnya kurang mendapat perhatian. Padahal semestinya ajaran agama bukan sekedar ibadah individual kepada Tuhan akan tetapi kewajiban kerja kemanusiaan atau amal shaleh dalam agama (Islam) lebih ditekankan.

Merujuk pada perspektif di atas, memang perubahan sosial di Indonesia sampai sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni meliputi bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan yang lain. Perwujudan yang kongkrit dari perubahan itu, adalah berupa upaya pembangunan yang terencana, termasuk di dalamnya sumber daya manusia. Tetapi dalam implementasinya, proses pembangunan tidak jarang menimbulkan disorientasi, seperti alienasi (keterasingan dan kerenggangan) dan dehumanisasi (“penjungkirbalikan” nilai-nilai kemanusiaan) bahkan konflik horisontal pun yang tak kunjung selesai.

Hal ini sejalan dengan pandangan Faisal Ismail (2001:239), bahwa alienasi tersebut menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semua itu, akibat dari pola pembangunan yang lebih memprioritaskan aspek fisik atau kebendaan semata. Dehumanisasi semakin marak – ekses dari proses pembangunan yang mementingkan praktis-pragmatis di atas nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak lebih dari obyek pembangunan ketimbang subyek pembangunan.

Kenyataan ini, pada gilirannya dapat menciptakan semangat penolakan dan perlawanan dari pihak yang merasa dimarginalkan. Teori sosiologi mendeskripsikan bahwa semakin kuatnya tekanan tehadap keberadaan kelompok tertentu, maka akan semakin mempercepat munculnya semangat militansi untuk mempertahankan eksistensinya. Begitu halnya di Indonesia, semakin represif para penguasa (semisal di era rezim Orba) membatasi aktivitas umat Islam, yang pada gilirannya semakin tumbuh subur munculnya aliran-aliran yang bernuansa radikalisme. Perubahan yang dihendaki oleh kelompok radikal keagamaan, biasanya cenderung revolusioner dan mendasar. Mereka beranggapan, bahwa dengan merubah secara mendasar seluruh aspek kehidupan manusia dan sekaligus melawan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, adalah sesuatu perwujudan kewajiban religius yang harus dilaksanakan.

Pada hakikatnya seluruh agama menghendaki adanya perubahan dalam setiap kehidupan manusia. “Agama” dan “Perubahan” merupakan dua entitas yang seperti berdiri masing-masing. Namun, belum tentu setiap dua entitas atau lebih, adalah sesuatu yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kemungkian saja dua entitas itu saling melengkapi ( complementary), dan boleh jadi saling mensifati satu sama lain. Bisa juga, “agama” dan “perubahan” dipahami sebagai hal yang overlapping. Artinya, “perubahan” dalam pandangan sebagian kalangan, justru dianggap sebagai inti ajaran agama. Sebagian pengiat sosiologi dan sosiologi agama, seperti Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, Peter L.Berger, Ali Syariati, Robert N.Bellah, dan yang lainnya menyiratkan pandangannya tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial.

Makna “perubahan” kemudian dirumuskan oleh agama setidaknya Islam, sebagai keharusan universal – meminjam istilah Islam sunnnahtullah – agar dapat merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan dari berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling tidak, agama mengajarkan nilai-nilai seperti itu, selain doktrin-doktrin yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan apabila kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi kehidupan manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka eksistensi agama akan menjadi pudar. Dengan kata lain, kalau sudah demikian, tidak mustahil agama akan ditinggalkan oleh umatnya dan boleh jadi belakangan menjadi “gulung tikar” karena dianggap sudah tidak up to date.

Oleh karena itu, diperlukan pemahaman diskursus “agama” di satu sisi, dan “perubahan” di sisi lain -- sebagai bagian satu entitas yang tak dapat dipisahkan -- sebab yang satu mensifati yang lain. “Perubahan” berfungsi sebagai sifat “kecenderungan”, “titik tekan”, atau “melingkupi” keberadaan agama. Ilustrasi ini dapat diambil contoh dari berbagai peristiwa di belahan dunia tentang perubahan sosial yang diakibatkan ekses dari agama, seperti, gerakan Protestan Lutheranian, revolusi Islam Iran, atau belakangan kasus bom Bali di Indonesia.

Identifikasi di atas tidak hanya di fokuskan pada perubahan yang berorientasi progress (arah kemajuan) semata, tetapi ke arah regress (kemunduran) pun menarik untuk dijadikan contoh. Memang tidak selamanya perubahan yang diakibatkan sepak terjang agama dapat berdampak kemajuan peradaban bagi manusia. Tidak sedikit perubahan yang mengarah pada kemunduran (regress) sebuah peradaban bangsa tertentu -- yakni seperti terjadinya perang Salib di masa lalu (antara Islam dan Kristen) atau konflik-konflik yang mengatasnamakan agama.

Sedangkan perubahan yang mengarah pada kemajuan (progress) peradaban manusia, posisi agama pun memberikan kontribusi yang sangat besar. Dengan agama, manusia dapat menebarkan perdamaian dan cinta kasih di antara sesama, optimis dalam menatap masa depan, menciptakan alat-alat teknologi untuk peningkatan kesejahteraan, menegakkan keadilan, sekaligus pemihakan terhadap golongan lemah. Tanpa itu, dapat dipastikan semakin lama sesuai dengan tuntutan zaman, agama akan ditinggalkan oleh pemeluknya dan pada akhirnya “gulung tikar” seperti yang di alami oleh agama-agama Mesir kuno. Meskipun acap kali tidak mudah untuk mensosialisasikan agama sebagai bagian dari spirit proses perubahan sosial.

Adalah ilustrasi yang menarik dari beberapa contoh kasus di Indonesia yakni, perubahan sosial yang dilandasi oleh semangat keagamaan seringkali menghadirkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat beranggapan, bahwa agama semestinya banyak mengambil peran dalam berbagai aspek, terutama dalam rangka pengandalian masyarakat (social control). Mereka berdalih, secara common-sense menjadi lumrah kalau agama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari berbagai aktivitas kehidupan sosial di Indonesia. Kenapa? Sebab mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama. Kemudian masalah berkembang, yakni agama mana yang layak menjadi dominan mempengaruhi pola prilaku masyarakat? Pernyataan terakhir ini, dapat didiskusikan dalam konteks logika kekuasaan dengan lebih intens.

Sementara bagi sebagian masyarakat yang tidak menghendaki agama hadir di berbagai moment, beranggapan, agama adalah urusan privat dan sangat personal. Urusan yang berkaitan dengan persoalan seperti, politik, ekonomi, budaya, dan semua yang ada kaitannya dengan publik, maka tidak menjadi kemestian agama dilibatkan, apalagi agama tertentu. Semisal, kasus RUU APP, poligami dan lain sebagianya, merupakan potret fenomena komunitas yang berpaham perlunya pemisahan antara urusan agama pada satu sisi, dan urusan sosial di sisi lain. Komunitas ini berpendapat, untuk menjaga keutuhan bangsa tidak diperlukan kehadiran agama apapun dalam konstelasi pembangunan bangsa. Apalagi Indonesia menurut mereka, tidak mengenal paham teokrasi ( negara agama).

Yang menjadi masalah kemudian adalah, apakah keberadaan agama cukup kita hadirkan hanya dalam urusan yang sifatnya privat/personal dan domestik. Dengan begitu, jargon keutuhan bangsa adalah harga mati dan mutlak harus dikedepankan ketimbang menjadikan agama tertentu sebagai pedoman atau norma pergaulan sosial. Ataukah dengan menghadirkan agama sebagai landasan norma bernegara dan berkebangsaan dapat menjamin akan adanya ketertiban masyarakat pada umumnya. Untuk memastikan survival-nya di antara kedua paham ini, sebetulnya lebih ditentukan oleh “seleksi alam”, artinya, paham mana yang dapat menjamin ketertiban dan kelangsungan hidup masyarakat pada umumnya dan paham mana yang hanya sebatas psedo-ideologi semata.

Dalam konteks pergolakan politik di Indonesia, belakangan ini banyak mengalami perubahan yang sangat signifikan. Semenjak pasca Orba, keberadaan partai politik yang bernuansa agama bermunculan seperti jamur di musim hujan. Kebanyakan mereka berpandangan bahwa, “idealisme-religiusitas” akan bisa digulirkan apabila memaksimalkan partisipasi politik secara langsung. Bagi mereka, pelajaran paling berharga adalah marginalisasi aspirasi politik partai bernuansa agama di era Orba. Oleh karena itu, peluang di era reformasi ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mewujudkan “obsesi” berpolitik dengan melibatkan agama secara eksplisit.
Terlepas dari apakah adanya partai politik aliran ini, hanya sekedar menarik minat partisipasi masyarakat beragama untuk kepentingan kekuasaan kelompok tertentu atau murni untuk mewujudkan sebuah refleksi semangat religiusitas. Maksud dari asumsi terakhir ini adalah, mendirikan partai politik agama dalam rangka merubah keberadaan masyarakat dengan nilai-nilai agama sebagai sumber utama untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang jelas, semenjak partisipasi politik keagamaan dilembagakan, memberikan warna tersendiri dalam percaturan politik di Indonesia. Paling tidak, dalam konteks demokrasi modern, fenomena yang demikian ini menjadi “batu uji” sebuah makna sejati dari demokrasi.

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya untuk didiskusikan adalah, Indonesia yang dikenal mayoritas beragama, belum nampak terrefleksikan dalam prilaku sehari-hari. Agama mungkin hanya sebatas identitas formalistis semata (melengkapi administrasi KTP). Pernyataan ini sepertinya “sumir” dan “sinisme” untuk masyarakat beragama pada umumnya. Tetapi ditilik dari realitas yang berkembang, banyak indikasi yang mendukung pernyataan ini, semisal merebaknya kasus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di seantero Nusantara. Padahal “oknum” yang melakukan praktek KKN notabene beragama, bahkan mungkin lebih terdidik. Hal ini menandakan bahwa “nafsu sahwat” materialisme lebih dominan ketimbang semangat keberagamaan. Dari konteks yang demikian ini, ternyata keberadaan agama di Indonesia belum dapat mengejawentah dalam proses perubahan sosial ke arah yang lebih progres atau lebih baik.
Atas dasar demikian, proses perubahan sosial tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab seluruh masyarakatnya, terutama para pemeluk agama. Dalam konteks sosiologis (fungsional-struktural), merubah masyarakat ke arah yang lebih baik dan produktif, merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, umat beragama dengan semangat ajarannya, bukan saja memikul tanggung jawab untuk memperkuat nilai-nilai moral, etik dan spiritual sebagai landasan pembangunan, tetapi juga dituntut untuk memerankan fungsi inspiratif, korektif, kreatif dan integratif agama ke dalam proses keharmonisan sosial. Berhubungan dengan itu, tugas merubah kondisi sosial ke arah yang lebih baik, bukan sekedar sebagai tugas kemanusiaan, akan tetapi sekaligus merupakan pengamalan sejati ajaran setiap agamanya.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

Sabtu, 15 September 2007

Sosiologi Indonesia: haruskah lebih sosiologis?

Carut marutnya bangsa Indonesia dari berbagai problematikanya diperlukan gagasan-gagasan orisil yang justru problem solvingnya dari perspektif sosiologis. Sebab, di mata indonesianis, bangsa ini tidak mudah di selesaikan dengan sekedar jargon politik semata. Tetapi, diperlukan kerja sosial yang berbasis sosial-budaya yang sangat heterogen. Dapat dibayangkan, semisal penyelesaian separatisme diberbagai daerah hanya diproduk dari "meja Jakarta" yang notabene central elite kekuasaan yang --meminjam istilah trennya -- " tebar pesona an-sich".

Untuk itu, sudah waktunya piranti produk budaya yang plural itu dicarikan formulanya yang melibatkan para expert diberbagai bidang. Mulai "hulu" (penguasa) sampai "hilir" (rakyat) dimanapun berada membuka ruang publik komunikasi sosial untuk meretas sekat-sekat psikologis yang sudah lama mengkristal. Dengan demikian, fungsi peran -peran social -control seperti yang dikemukakan Paul B.Horton dan C.L.Hunt (1993:176), pengendalian sosial (social control) adalah, untuk menggambarkan segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat.

Mungkin sampai hari ini, upaya menyelesaian masalah di berbagai bidang belum menunjukkan angka statistik yang signifikan -- untuk tidak menyebut absurd . Pembenahan yang dilakukan pemerintahan mulai pasca ORBA, tidak nampak signifikan, bahkan cenderung menurun. Pernyataan ekstrimya, pemerintahan sekarang "tidak lebih baik dari rezim ORBA". Mulai dari jumlah angka pengangguran yang meningkat, instabilitas ekonomi yang naik-turun tajam, penegakkan hukum (law enforcemen) yang masih terkesan "tebang pilih" dan konflik di berbagai daerah tidak kunjung surut. Pernyataan yang terakhir itu, penulis sependapat bahwa salah satu keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), adalah penyelesaian konflik di Daerah Istimewa Aceh. Tapi Indonesia bukan hanya Aceh, masih banyak daerah yang perlu penanganannya yang hampir mirip dengan Aceh, yakni proses nation building yang dibarengi pemerataan dan keadilan yang balance dan transparan di berbagai wilayah, meskipun tetap proporsional.

Mengutip yang diungkapkan Paul Horton dan C.L.Hunt di atas, setidaknya pemerintahan SBY hari ini dan pemerintahan yang akan datang, semestinya dapat menjadi pengendali sosial yang sesuai dengan harapan berbagai elemen bangsa, kalau menghendaki adanya social order (ketertiban sosial). Di akui atau tidak, keterlambatan proses nation building di Indonesia, salah satunya tidak adanya komitmen bersama di berbagai kalangan elemen bangsa itu. Sehingga tidak sedikit program yang digelindingkan oleh pemerintah tidak mendapat respon dan apresiasi dari sebagian kalangan. Boleh jadi yang tidak mendukungnya minoritas, tetapi dalam konteks berbangsa dan bernegara, hal itu dapat menjadi "batu sandung" atau "batu kerikil" yang menyelip di sepatu. Memang proses penyelarasan main-stream ke berbagai kalangan tidak semudah membalik tangan, tapi itulah uji kalayakan seorang pemimpin atau negarawan yang mumpuni. Untuk itu, penulis dengan sedikit analisis sosiologis yang minimalis berupaya mengajak para sosiolog mendialogkan masalah bangsa ini menuju bangsa besar yang beradab dan bermartabat.

baca selanjutnya dan beri komentar(klik disini)...

blogger templates | Make Money Online